Pengamatan Gemu Fa Mi Re

Pengamatan Gemu Fa Mi Re

Seolah tidak mau kalah dengan kawan-kawan yang “berburu burung” di Bandung Selatan, maka di pagi yang bersahaja kaka barista dari Jakarta Birder, tante semok dan oom caem berangkat ke Lapangan Medan Merdeka yang merupakan tempat ikon ibukota Republik Indonesia, Monas. Jika yang di Bandung Selatan punya target species Javan Trogon, maka yang di Lapangan Medan Merdeka ini punya target species yang sangat ambisius… Western Tragopan (gak boleh protes!).

Lapangan Medan Merdeka sendiri mempunyai sejarah yang panjang, dan pernah dikenal dengan berbagai nama mulai dari Buffelsveld, Champ de Mars, Koningsplein, Lapangan Ikada, dan Lapangan Gambir. Namanya lapangan ya dari dulu dipakai untuk banyak keperluan, dari mulai tempat latihan baris, arena pasar malam, hingga dijadikan tempat rapat raksasa (rapat yang dihadiri banyak orang, bukan rapatnya para raksasa). Saat ini Lapangan Medan Merdeka menjadi ruang terbuka tempat orang berekreasi termasuk sebagai salah satu tempat untuk mengamati burung di Jakarta.

Lapangan Medan Merdeka yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan yang bukan aseli Indonesia (introduced species) ini, walaupun terletak di jantung ibukota negara yang sangat ramai tetapi masih bisa menjadi tempat hidup bagi beberapa jenis burung liar. Ady Kristanto, pengamat burung dari Jakarta menyebut paling tidak ada 30-an spesies burung yang menghuni tempat ini.

Kembali ke tiga pengamat burung tadi, pengamatannya dimulai jam 6 pagi dengan target 15 spesies burung (termasuk Western Tragopan tadi). Beberapa jenis yang memang umum dan berukuran relatif besar dengan cepat bisa dilihat, seperti Cucak kutilang, Punai gading, Tekukur biasa dan Kepudang kuduk-hitam, tetapi burung-burung yang ukurannya kecil masih malu-malu bersembunyi walaupun suaranya ramai.

Berbicara soal suara, pengeras suara yang terdapat diberbagai penjuru Lapangan Medan Merdeka ini seolah tidak bisa diam barang sejenak. Lagu daerah dengan aransemen pengiring joget yang berdentam menemani pengamatan dari awal hingga akhir, agak mengganggu sebenarnya, tapi ya sudahlah toh banyak orang yang bahagia mendengarnya. Suara ini terkadang “menutupi” suara burung di tempat itu.

Lantas, mengapa pula suara burung jadi penting bagi pengamat burung. Di lapangan ini dijumpai satu spesies burung migran dari belahan bumi utara yang menjadi salah satu spesies highlight dalam pengamatan kali ini yaitu Cikrak kutub (Arctic Leaf Warbler – Seicercus borealis). Burung ini dipisah dari dua jenis lainnya Japanese Leaf Warbler (Seicercus xanthodryas) dan Kamchatka Leaf Warbler (Seicercus examinandus) berdasarkan kicauannya. Karena baik Arctic Leaf Warbler dan Japanese Leaf Warbler bentuknya sangat mirip dan keduanya bermigrasi ke Jawa selama musim dingin di Utara, maka suara menjadi alat pembeda. Menjadi agak sulit mendengarkan kicauan burung jika suaranya tertimpa oleh lagu Gemu Fa Mi Re (Nona manis putarlah ke kiri ke kiri ke kiri ke kiri dan ke kiri ke kiri ke kiri ke kiri manis e… *yang baca ini sambil nyanyi lalu joget selamat menikmati*) atau lagu Sarinande yang menggelegar dari pengeras-pengeras suara itu.

Spesies lain yang menjadi highlight kali ini adalah Sikatan bubik (Asian Brown Flycatcher – Muscicapa dauurica) yang juga jauh-jauh mengungsi ke Indonesia di kala rumahnya di belahan Utara sana sedang dilanda musim dingin. Dua spesies migran tersebut tampak “padat berisi”, sudah siap-siap untuk melakukan perjalanan pulang ke Siberia sana tampaknya.

Soal burung-burung berukuran kecil agak memprihatinkan tampaknya, lumayan sulit menemukan mereka pagi tadi, selain jumlahnya hanya sedikit saja yang dapat dijumpai seperti Bondol peking, Gelatik batu, Burung-madu sriganti, Burung-madu kelapa, dan Cabai jawa.

Namun demikian, setelah 3 jam pengamatan, berhasil didapat 23 spesies burung. Lantas bagaimana dengan spesies target Western Tragopan? Ya gak ada lah… itu burung adanya di Pakistan dan India bagian Utara saja bukan di Monas.

Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan sebelumnya di sini.

Selepas Petang

Cakalang

Inilah waktunya untuk menyusun ulang hasil dari kerja sepanjang siang tadi, tiga jam di bawah air berarus kuat.

Kali ini saya ditemani bintang-bintang saja, karena ini saat bulan mati. Ada deram suara generator dari ujung kampung yang memberi nyawa bagi lampu-lampu ber-watt rendah yang berwarna kekuningan, serta televisi berlayar kecil. Iya, televisi, barang yang mampu mengurung orang-orang kampung untuk diam di dalam rumahnya, mereka seperti tersihir oleh apa yang mereka lihat. Kadang saya bertanya, mengapa mereka tak lantas menikmati bintang? Ah, mungkin mereka juga kadang bertanya, mengapa saya tak menonton televisi dan malah tersihir dengan bintang-bintang?

Sesekali saya melirik ke api unggun di sebelah, di atasnya ada cakalang dari Alim, nelayan hitam kekar dari kampung, yang bermurah hati memberikan hasil tangkapannya. Alim, yang kerap bertanya soal kota, berulang-ulang, soal kendaraan yang menyesaki jalanan, atau soal gedung-gedung tinggi. “Apa kaki mereka tidak sakit menaiki bangunan setinggi itu?” tanyanya suatu kali sambil menghembuskan asap keretek murah dari mulutnya.

Buat saya, orang-orang di kampung ini memang ramah, ada senyum di mana-mana, bahkan hansip kampung yang beroman bengis itu sering tersenyum memamerkan gigi-giginya yang kecoklatan. Hanya saja kadang mereka terlalu banyak bertanya soal kota. Tempat yang sayapun enggan ada di sana. Toh orang-orang ini tetap saja memanggilku si orang kota.

Iya, saya memang orang kota penikmat bintang, laut biru toska, cakalang bakar dan kesunyian di tempat jauh, pada saat bulan mati.

Catatan: ini adalah hasil mengikuti kelas menulis dengan tema yang sama dengan judul di atas dari writing table-nya Windy dan Hanny di Yogyakarta, 24 November lalu

Saya Senang

1

 

Tadinya saya kira ini hanya akan jadi perjalanan biasa saja. Ini hanya perjalanan rutin untuk keperluan kerja dengan teman saya yang selalu ngomel setiap kali melihat tanyangan di stasiun-stasiun televisi nasional. Kadang saya harus menjejali dia dengan makanan sambil bilang “mending ngunyah daripada ngomel”. Begitulah, kami hari itu dari Kendari hendak ke Raha di Pulau Muna dan kami menggunakan kapal cepat dengan rute Kendari – Raha – Bau-Bau (di Pulau Buton).
Continue reading “Saya Senang”

Menggonggongi Tiang Listrik

Itu istilah yang saya buat sendiri untuk menggambarkan kelakuan saya belakangan ini. Tepatnya saya rajin dan bersemangat sekali merutuki, mengomeli, hal-hal yang buat banyak orang tidak penting. Sekencang dan sekerap apapun saya merutuki sesuatu, hal tersebut ya tidak juga akan berubah, seperti anjing yang menggonggongi tiang listrik, walaupun mungkin saja itu bisa menarik perhatian orang yang sedang tidak punya kerjaan lain selain melihat anjing menggonggongi tiang listrik. Lantas, apa saja yang saya gonggongi itu.

Continue reading “Menggonggongi Tiang Listrik”

Trulek Jawa van Redjotangan

Trulek
Ini hanyalah sebuah tulisan lama yang saya tulis ulang sebagai pengingat bahwa dahulu saya rajin menulis soal burung, dan sekarang jarang menulis soal apapun. Ini cerita tentang satu jenis burung, Trulek jawa (Vanellus macropterus) yang merupakan burung endemik Pulau Jawa (di dunia hanya ada di Pulau Jawa). Nasib burung ini tidak jelas, mungkin masih ada, mungkin juga sudah punah. Di kala saya masih sangat aktif di dunia burung memburung, Trulek jawa adalah salah satu jenis burung yang saya “kejar” untuk memastikan statusnya di alam, sudah punah atau belum. Pada masa pengejaran itulah ada sebuah cerita menarik yang ingin saya bagi.
Continue reading “Trulek Jawa van Redjotangan”