Ini tulisan untuk sekadar menjawab pertanyaan mengapa saya blingsatan kalau lama tidak menyelam. Jadi begini, tiga tahun belakangan ini, dunia kerja saya praktis berputar di hal-hal yang berkaitan dengan laut dan isinya. Menyelam (scuba diving) menjadi bagian dari pekerjaan itu. Awalnya sulit bagi saya untuk menyelam. Jangankan menyelam yg harus berendam sepenuh badan di dalam air, saya itu disuruh mandi saja susah. Saya orang darat, persis seperti di lagu film Ninja Hattori, “mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama kawan bertualang”.
Begitulah, lantas saya belajar untuk tidak takut pada air, warna biru pekat yang identik dengan kedalaman, dan ketakutan-ketakutan logis semacam bagaimana jika alat untuk saya bernapas macet, bagaimana jika udara habis, bagaimana jika instrumen penunjuk kedalaman atau sisa udara di tabung bertingkah ganjil, dan sebagainya dan sebagainya. Ketakutan-ketakutan itu pada akhirnya tidak saya lawan, tapi saya terima sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan jika hal tersebut terjadi. Begitulah, Sayapun lantas belajar menyelam dari rekan kerja di Taman Nasional Laut Wakatobi.
Petualangan baru telah dimulai, dan sejak itu saya nyaris tak terpisahkan dari laut. Selain karena pekerjaan menharuskan saya melakukan itu, ada dorongan lain yang menyebabkan saya sulit berpisah dari laut. Lantas menyelam bukan lagi urusan kerja semata, tetapi juga sudah merupakan kebutuhan jiwa. Terlalu lama di darat tanpa menyentuh air laut, saya bisa blingsatan.
Saya sering menganalogikan menyelam seperti sedang pacaran. Suasana pacaran yang menurut saya ideal. Begini, ada debaran kencang dan keinginan untuk segera bertemu. Kemudian saya harus “berdandan” agar saya bisa diterima oleh pacar sembari tersenyum. Ada sedikit keraguan pada saat akan memasuki rumahnya, dan tidak berharap pintu dibuka oleh bapaknya (apalagi jika bapaknya masih harus ikut kursus senyum).
Ketika sudah bertemu dengan sang pacar, kata-kata menjadi tidak perlu. Semua percakapan bisa dilakukan dalam diam, saya bisa mengambang seolah terbang tanpa beban. Berat badan saya yang bisa membuat kuda nil cemburu, seolah lenyap, seringan bulu. Sepi sekali, yang terdengar hanya helaan nafas. Saya bisa bercerita, mengadu, atau berbagi kelucuan, sementara dia mendengarkan dengan sabar sambil tersenyum. Semua tanpa suara dan di sini saya seperti sedang membuang semua beban saya tanpa rasa takut akan dihakimi. Hanya ada kami berdua saja, saya dan laut serta semua keindahannya itu.
Ada perasaan gundah yang sangat ketika hendak berpamitan dengannya. Saya tidak semerta-merta pergi begitu saja, tetapi semua dilakukan dalam sebuah ritual perlahan yang menggambarkan keengganan untuk berpisah hingga sisa udara terakhir yang ada di dalam tabung. Ketika kunjungan berakhir, ada kenangan yang menggelayut nakal di benak. Lantas ada janji pada diri sendiri, saya akan datang lagi. Lantas saya bisa pulang dengan pikiran yang lebih tenang.
Jadi sekarang sudah jelas bukan, kenapa saya bisa blingsatan kalau lama tidak menyelam?
Foto oleh Rizya Ardiwijaya.
Pak Dheeeee, mbok saya diajari nyelam.
Tapi jangan diblebek-blebeke ya
Kalo begitu saya harus nyelam!
de, itu kyknya lagunya ninja hotaru deh..bukan doraemonnn
Wah iya ya Wen, thx utk koreksinya, sudah dibetulkan -Mbilung-
pengen nyelem 😐
Jadi menyelam sama dengan “pause” dari kehidupan ya Dhe?
Top tenan cerita ini 🙂
jadi jarang nulis karena pacar barunya begitu pengertian???
nate ketemu putri duyung ra dheee?
Pakdhe, kalo jadi janitor di situ diajari nyelam juga gak? Aku daftar jadi janitor dong.
Rencananya hari ini saya, priska dan mas boy mau muncak ke gunung api, namun hujan yang mengguyur semalam membuat malas membayangkan jalur yang licin. Kezia dan didi nyebrang ke pulau banda besar melihat perkebunan pala. Sedangkan saya, priska dan mas boy mengunjungi banguna banguna sejarah di pulau naira. Dimulai dengan melihat keramaian sewaktu kapal pelni Nggapulu merapat. Kemudian ke museum sejarah, rumah hatta, fort Nassau tempat pembantaian orang kaya banda, istana mini. Setelah puas jalan jalan melihat bukti sejarah di pulau naira, sore itu kami kembali ke dive center untuk hunting photo ikan mandarin yang selalu muncul sekitar jam 5 – 6 sore. Cukup banyak dan mudah melihat ikan mandarin tanpa harus diving atau snorkeling, cukup nungging2 di batu2an pinggir laut dapat dah photo ikan menggemaskan. Pulang ke penginapan kami membawa dive gear masing2 untuk di packing, karena besok pagi kami harus segera pulang ke ambon. Walau masih betah di bandanaira namun bermasalah dengan jaringan internet, selama di bandanaira bener2 terisolir dari dunia maya.