Ini hanyalah sebuah tulisan lama yang saya tulis ulang sebagai pengingat bahwa dahulu saya rajin menulis soal burung, dan sekarang jarang menulis soal apapun. Ini cerita tentang satu jenis burung, Trulek jawa (Vanellus macropterus) yang merupakan burung endemik Pulau Jawa (di dunia hanya ada di Pulau Jawa). Nasib burung ini tidak jelas, mungkin masih ada, mungkin juga sudah punah. Di kala saya masih sangat aktif di dunia burung memburung, Trulek jawa adalah salah satu jenis burung yang saya “kejar” untuk memastikan statusnya di alam, sudah punah atau belum. Pada masa pengejaran itulah ada sebuah cerita menarik yang ingin saya bagi.
Adalah sebuah awetan (spesimen) di Museum Zoologi di Cibinong, Bogor, bernomor 16662 yang sungguh-sungguh menarik perhatian saya. Bukan karena bentuknya, melainkan karena tulisan yang tertera pada dua buah label yang terikat di kaki kiri dan kanan spesimen tersebut.
Pada label pertama tertulis bahwa spesimen tersebut adalah Rogibyx tricolor yang diambil/dikoleksi oleh Chauvigny de Blot pada 26 Oktober 1917 di Redjotangan. Di label kedua tertulis Xiphidiopterus tricolor yang dikoleksi oleh Chauvigny de Blot di Redjotangan Oost Java pada 26.X.1917. Di bagian belakang label kedua ini juga tertulis meer van Redjotangan Ost Java. Nama Rogibyx tricolor danΒ Xiphidiopterus tricolor adalah nama ilmiah lama yang dipakai untuk Trulek jawa.
Label tersebut menempel pada spesimen Trulek Jawa yang benar-benar unik. Inilah satu-satunya spesimen di dunia yang menjadi bukti bahwa burung ini paling tidak pernah ada di lokasi yang bernama Redjotangan, Jawa Timur (Oost Java). Benarkah Redjotangan yang dimaksud adalah nama sebuah desa yang saat ini bernama Rejotangan yang terletak di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur?
Itu hanyalah salah satu dari segudang pertanyaan lain yang mengundang rasa ingin tahu saya. Pertanyaan lain adalah, siapa Chauvigny de Blot? Apa yang dilakukannya di Redjotangan pada Oktober 1917? Apa yang dimaksud dengan kata “meer”? Apakah kata itu mengacu pada kolam atau danau? Jika Redjotangan yang dimaksud adalah Desa Rejotangan yang jaraknya dari pantai terdekat (jarak lurus) 22 kilometer. Seberapa inland sebenarnya sebaran Trulek jawa itu? Mengapa hanya ada satu spesimen Trulek jawa dari Redjotangan? Seperti apa “wajah” Redjotangan itu pada tahun 1917? Apakah Trulek jawa masih ada saat ini di Rejotangan?
Untuk mencari jawaban dari setumpuk pertanyaan itu, saya memulainya dengan mencari tahu siapa Chauvigny de Blot. Internet sangat membantu proses pencarian tersebut. Begini hasilnya. Kunci jawaban dari seabreg pertanyaan tadi ada pada seorang tokoh bernama Paul de Blot (lengkapnya Paul de Chauvigny de Blot). Ia warga negara Indonesia yang lahir di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah, yang paling tidak hingga tahun 2005 beliau mengajar bisnis internasional di Nyenrode Business Universiteit, Negeri Belanda.
Paul adalah putra Chauvigny de Blot, orang yang namanya yang tertulis pada label spesimen di Museum Zoologi di Cibinong, Bogor. Nama lengkapnya adalah Gerardus de Chauvigny de Blot. Ia lahir di Tegal pada 1894. Pak Gerardus ini bukanlah seorang ahli biologi, melainkan sinder perkebunan di Kutowinangun. Ia bersahabat dengan seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman (namanya belum saya dapatkan) yang mengajarkannya banyak hal, termasuk bagaimana membuat spesimen.
Pada 1933, Pak Gerardus pindah ke Bandung dan seluruh koleksi spesimennya disumbangkannya ke Museum Zoologi di Bogor yang waktu itu masih menempati gedung di dekat pasar Bogor. Antara 1935/1936 ia pindah ke Redjosari, Madiun, dan menetap sampai 1942. Ia sempat ditahan bala tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II selesai, ia kembali ke Redjosari dan pada tahun 1957 ia pergi ke Belanda dan meninggal dunia di sana pada tahun 1968.
Apa yang dilakukannya di Redjotangan pada Oktober 1917? Pak Gerardus sering berburu babi hutan di daerah tersebut bersama adiknya, Frits de Chauvigny de Blot, yang tinggal di sebuah pesantren di Kediri. Walaupun masih berusia muda, sebagai sinder perkebunan, posisi Pak Gerardus sudah cukup tinggi saat itu. Bayangkan, ia sudah memiliki mobil — kendaraan yang cukup langka saat itu — yang sering kali dipakainya buat plesiran.
Lantas, dari kisah Pak Paul yang menuturkan kisah perburuan Pak Gerardus inilah saya mengetahui apa yang dimaksud dengan kata “meer”? Meer yang dimaksud pada tulisan di label spesimen (Meer van Redjotangan) mengacu pada sebuah danau yang terletak di sebelah selatan Desa Rejotangan. Danau ini sekarang telah hilang, berubah menjadi areal persawahan yang luas. Menurut informasi dari penduduk setempat (Pak Dugel), danau itu mulai diubah menjadi sawah seusai Perang Dunia II.
Seberapa inland sebenarnya sebaran Trulek jawa itu? Mengingat jarak lurus Rejotangan dari pantai lebih dari 20 kilometer, dan terhalang perbukitan, penyebaran Trulek jawa mungkin saja lebih luas dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini diperkuat oleh satu spesimen Trulek jawa yang dikoleksi oleh G.F.Taylor pada Juli 1918 di Buitenzorg (Bogor) yang jaraknya dari pantai terdekat lebih dari 50 kilometer.
Saat itu tampaknya ada areal lahan basah yang cukup luas di Bogor. Hal ini diperkuat dengan adanya catatan keberadaan Mentok rimba (Cairina scutulata) pada 1839-1844 di Bogor. Mentok rimba sendiri, saat ini sudah punah dari Pulau Jawa, dan di Indonesia hanya ada di Pulau Sumatera.
Dari rangaian cerita tadi, paling tidak saya bisa berkesimpulan bahwa Trulek jawa bukanlah burung pantai sejati; sebaran Trulek jawa bisa jadi lebih luas dari yang diperkirakan sebelumnya; Trulek jawa dahulu hidup di lahan-lahan basah dataran rendah Jawa.
Lantas, apakah Trulek jawa masih ada saat ini di Rejotangan? Sedihnya….mungkin sudah tidak ada lagi.
Seru ya sepertinya, pak dhe.
Saya sebenarnya kepingin lho sekali2 ikut menyelikidik (Timbul Style) tentang hal-hal bersejarah terkait penyebaran makhluk hidup seperti halnya burung Trulek Jawa di atas.
wah menarik ini pakde, kapan2 boleh yuk hunting burung bareng π atau kalo sekedar mampir surabaya, kita bisa hunting bebek goreng sajahahaha π
Kalau ada hewan yang udah punah gitu rasanya sedih ya… π
Asyik pakde nulis burung lagi!
Mbilung is back!
*pasang payung pink & kalungi binokular*
Waaa seru kayanya, bisa menyelidki sejauh itu..
Ayo pakdhe, dongeng tentang burung atau ikan lagi …
Apa sekarang sudah nggak di perburungan lagi Lik?
“…bahwa dahulu saya rajin menulis soal burung, dan sekarang jarang menulis soal apapun.”
Kangen postingan sehari satu post…
Berarti nh trulek jawa seperti trinil pantai ya, pa de sukanya main jauh2.. Hehehe.. Senang bisa membaca serpihan-serpihan kenangan sisa ekspedisi dlm tulisan ini..:)