Overqualified

over.jpg

Hanya sebuah obrolan singkat lepas tengah malam dengan paman. Kali itu, dia ingin melamar jadi tukang kebun di kantor saya. Saya sih senang-senang saja. Punya tukang kebun rajin ngoceh dan bercerita tentang apa-apa yang ditanamnya dan lantas dibumbui dengan kajian sosial tentang tanaman itu mestinya menyenangkan. Lantas, seberapa besar peluang untuknya bekerja menjadi tukang kebun di kantor saya? Nyaris nol.

Ini bukan soal apakah dia mau dan mampu menjadi tukang kebun, ini soal kualifikasi saja. Saya kok yakin, teman-teman di bagian kepegawaian akan menolaknya. Terbayang ucapan “kita sudah punya tukang kebun dan orang ini overqualified.”

Baiklah, alasan sudah punya tukang kebun bisa saya terima. Toh luas kebun tidak bertambah, dan tukang kebun yang ada saat ini juga mengerjakan tugasnya dengan baik. Singkatnya, dia tidak layak ganti. Tetapi, alasan overqualified itulah yang mengganggu.

Kejadian mirip begini pernah terjadi di kantor lain. Seseorang dengan gelar S2 melamar untuk menjadi Project Officer. Ditolak dengan alasan overqualified. Ini sungguh alasan aneh buat saya. Lha wong dia mau kok! Lantas kawan bagian kepegawaian itu bertanya lagi, “Kemahalan ini, mau bayar berapa kita? Kan dia lulusan S2 dari luar negeri. Masak Project Officer gajinya lebih tinggi dari manajernya?”

Buat saya, sungguh kemplu sangat pertanyaan dan alasan itu. Berapa besar imbalan seharusnya ditentukan oleh jenis pekerjaan dan keluaran apa yang harus dihasilkan, bukan ditentukan oleh siapa yang mengerjakan dan apa gelarnya. Siapa berani jamin, pekerjaan membuat kursi akan lebih bagus hasilnya jika dikerjakan oleh seorang Doktor dibandingkan dengan seorang tukang kayu? Jika toh sang Doktor mampu menghasilkan kursi yang bagus, kenapa pula bayarannya harus lebih tinggi dari sang tukang kayu? Toh pekerjaan dan hasil yang diharapkannya sama. Bagi saya, siapapun yang mampu membuat kursi seperti yang diharapkan (secara kualitas), bayarannya ya mestinya sama saja.

Jika demikian adanya, lantas apa artinya gelar dan sekolah? Aha … itu lain soal. Saya di sini tidak membicarakan gelar dan sekolah, yang saya permasalahkan adalah soal kesempatan untuk menunjukan kemampuan.

Gambar diambil dari sini.

Join the Conversation

48 Comments

  1. makanya kalo bisa jadi dokter yang pinter bikin kursi (misalnya) jangan melamar kerja, bikin kerja saja. nanti kan bisa mempekerjakan orang lain bikin kursi …

  2. Jadi inget waktu job fair UNPAR di Sabuga beberapa waktu lalu, saat itu ada lowongan di Jonas Photo. Teman saya, lulusan S1 3.5 tahun dengan IPK mendekati cum laude mencoba melamar, dengan posisi sebagai KASIR. Lalu apa kata pihak Jonas?

    “Kalo mau jadi kasir ga usah S1, mbak.”

    lah? kan dia mau, masa masi di protes?

  3. aku udah pernah ngalami itu, diminta kirim cv, dites dengan seluruh materi english..eh jebule…mohon maaf, anda ini S1, yg kami butuh setingkat sma…kalo S1 kami bingung bayar gajinya. lho? jadi itu cv cuma buat bungkus gedang goreng…keat πŸ˜€

  4. kl kasusnya spt bung Adham Soemantri, saya jd inget kasus serupa yg dihadapi temen saya, HRD perusahaan lokal. ketika butuh naker utk posisi kasir, pramuniaga toko, yg ngelamar lulusan S1 dan pinter pulak.

    diskusi kami waktu itu, kami ‘menilai’ (wahhhh ini loh, yg bikin males kerja di HRD. kerjanya tukang nilai orang lain >_<) bhw kandidat tsb menujukkan ketidakmampuan utk lbh kreatif. sehrsnya dia bisa lbh dr itu. jd ada kemungkinan, dia memilih utk posisi tsb, krn kepepet, sudah ga ada kerjaan lain.

    waktu wawancara, pernah juga ketemu kandidat semacam ini. dan terpaksa saya tolak, soale ada kecenderungan bhw motivasi kerja krn kepepet itu berbeda dg bekerja krn motivasinya passion.

    maksutnya, beda kan, kita pacaran sama si A krn kita ga betah lama2 menjomblo dan pas kebetulan pas lagi lowong, dibanding dg kita menerima si A krn kita mmg bener2 suka dan cinta.
    iya enggak, pakde ???

  5. sudut pandang lain,..
    ukuran overqualified karena gelar? IPK?
    halah..
    belum juga liat hasil kerjanya,..
    sama dengan pandangan underqualified karena gelar dan IPK..
    padahal hasil kan yang menjadi ukuran?

    pemikiran saya diatas menjadi blunder mungkin, Pakde…

    tetapi pertanyaan mendasar dari sebuah institusi bernama sekolah?
    apakah untuk mencetak tiket masuk kelas2 pekerja?
    atau untuk memberi knowledge dan skill ?

    wis ah… saya percaya Freire saja,.. “Pendidikan untuk pembebasan dari ketertindasan..”

  6. karena mungkin saja orang yang overqualified itu pengen nyoba dan merasakan kerja dari “posisi bawah”. namun ya itu.., kita gak bisa overgeneralized. tiap kasus beda-beda…
    betewe, buat mas leksa, pendidikan kan..? bukan pembelajaran a.k.a. sekolah…? huehehehe…

  7. @restlessangel
    Bukannya kepepet justru bisa menimbulkan passion? πŸ˜€ Kok kalo dari pandangan saya orang yang kepepet nyari kerja trus dapet kerja bakal berterima kasih dan jadi cinta banget sama kantornya? Setidaknya itu sih yang terjadi ama om saya.

    Dan temen saya ada yang gitu (jomblo lama banget) begitu dapet cewek dia malah sayang banget sama ceweknya karena ceweknya itulah penyelamat tampangnya hidupnya dari kejombloan abadi.

    Wkwkwkwk……kok jadi ngomentarin komentar lainnya….

  8. sekolah itu gunanya ya liburan, represing di kala muak ama kerjaan, jadi cuti, trus sekolah. kalo gelar itu ya bonusnya sehabis liburan… πŸ™‚

    nyindir po piye??? πŸ˜€ -Mbilung-

  9. Buat kita kebanyakan, overqualified gak sekedar masalah skill tapi juga ada muatan tentang ‘penebaran pesona’ yang sering malah jadi faktor X ditempat kerja. Para atasan bisa tidak mempesona lagi donk bila ada orang overqualified bekerja disitu, yang laen jadi mbanding-mbandingin ntar. mmm.. Masuk akal juga kok alasannya bos.

  10. Thanks God, beruntunglah saya, dapat mengajar tanpa gelar SPd, ataupun akta, tapi tetap dengan bayaran yang sama….
    semoga kualitas saya emang sepadan dengan mereka ya….

  11. apa gak bisa nego dulu bayaranya, kalo gak cocok yaudah ditolak, dan kalo cocok ya sudah diterima..
    apapun gelarnya….

    gicu ajia kok repot cih…. πŸ™‚
    *cinta laura & gusdur mode on*

  12. sejak jebol dr kuliah,aku malah ga tahu bentuk ijazahku..!!!
    toh kerja yo bisa !!!!

    bukan lulus dari mana.>???
    tapi,lulus bisa apa..???
    itu mungkin kriteria qualified

    *ini nyindir anto girang yg ga lulus2 ya..*

  13. hahahaha… ha kawan saya bilang sudah kuliah lama2 ampe s2 eh ternyata yang paling nakutin perusahaan yang nawarin dia kerja justru ijazah d3nya…

    cek ah ijasahku sing d3 regane piro…

    —kapan ya aku mau keluar dari PNS?—

  14. hahahaha… saya cinta ilustrasinya!!!

    btw, pak Dhe, salah satu penghuni rumah saya ini ada juga tuh yg ngalamin cerita di atas. yg pasti bukan saya orangnya. hahaha

  15. aku juga pernah ngelamar jadi opisboi dikantor temenku..udah ngisi form lamaran segala…eh ditolak dan dipisuhi..jarene ga kuat bayar….waduh

  16. mungkin ngelamarnya jangan jadi ‘tukang kebun’; tapi ‘perancang kebun’, ‘penata kebun’, ‘konsultan kebun’, atau ‘manajemen kebun’ hehehe walau dari segi kerjaan mungkin sama aja, tapi yang penting ngebungkusnya beda. habis kantor masih ngelihat dari bungkusnya juga, sih, hehehe.

  17. setuuujuuu bgtzzz!!!!…
    knp sih ga diberlakukan keadilan lm mengecap pengalaman yg sama tanpa hrs membeda2kan dari sisi over/under qualified..

    tiap org berhak diberi kesempatan πŸ˜‰

  18. Rasanya ndak semudah itu Pak Dhe. Orang yang overqualified bisa dicap merusak pasar. Lha wong S2 kok gajinya cuma segitu. Apalagi kalau dia memiliki profesi yang ada organisasi profesinya.
    Trus perusahaannya tentu sudah punya kriteria, sehingga waktu bikin lowongan, dia mencantumkan kualifikasi tertentu. Perusahaan itu “berani” menghargai orang dengan kualifikasi tertentu karena itu “pas” dengan job des nya.
    Kalau seorang pelamar bergelar S2 kefefet karena ndak dapat-dapat kerja, padahal lowongan yang tersedia minta S1, ya sebaiknya dia “menyembunyikan” ijazah S2 nya dan menggunakan ijazah S1 nya.

  19. Baca komen Yahya (#35) saya ingat sopir taksi, sarjana, yang melamar dengan ijazah SMA.

    Kalau pakai S1 kenapa Bang? “Saya akan ketahuan sebagai sarjana gagal dan pasti ditolak, lagian sudah ditebak cuma akan sementara kerjanya.”

    Ah yang penting hepi kan? Iwan Tirta itu master hukum dari Yale tapi tidak praktik — kecuali (dulu) mengajar di instansi anu. πŸ˜€

  20. Setuju mas, memang semestinya begitu ya. artinya dia sama2 pandai dan kapabel, cuman bedanya satu sarjana satu tidak.

    jadi sebenarnya itu karaktek masyarakat indonesia saja, lebih menghargai orang yg bergelar ketimbang orang yg tidak bergelar.
    padahal di negara2 maju tidak seperti itu, mereka (bangsa asing) itu lebih melihat kepada kemampuan,skill dan kapabalitas seseorang bukan gelar. buat apa buanyak gelar cuman ngomong doang yg bisa.

    oiya maaf kepanjangan mas.
    salam kenal ya mas.

  21. konsep nasionalnya ada di depnakertrans sebenarnya . .
    makin ketahuan busuknya May Day kemarin , , ,
    ya . . . antara lapangan kerja dan TKI . . mana yang dipentingkan?!
    lha itu aja nggak tegas . . . nyaris tidak berbuat apa2 untuk lapangan kerja . . . kalau TKI?! . . nggak cuman over kualitas . . tapi lebih parah over kuantitas . . . jadi apa pekerjaan para pejabat itu?
    ya korupsilah . . . . πŸ˜›

  22. right man on the right place, right man on the right job……..
    kalau suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya………. (karena para pejabat sudah ahli korupsi, maka pekerjaan untuk korupsi nggak akan hancur, artinya…ya terus aja korupsi……..>_<)

  23. nyari kerjaan jaman sekarang tuh susah mas. jadi mungkin saja orang tidak melihat lagi gelarnya, asal ada kesempatan kerja walaupun lebih rendah daripada gelarnya ya langsung aja diambil daripada nda ada kerjaan.
    Lagipula manusia kan tidak boleh membatasi diri sendiri, maksudnya mentang-mentang punya gelar S1 komputer lantas hanya mau kerja di bagian komputer aja, menurut saya itu nda baik mas.

  24. pengalaman sama dengan istriku… setelah dapet info dari kawannya yg lebih dulu kerja, dinilai overqualified… ternyata, yg dapet, org yg dibawa HRD… ;-)). wes gak popo ma… dodolan trasi sak kontener per bulan rak wes cukup to? :-))

Leave a comment

Leave a Reply to Yahya Kurniawan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *