Berani Tetapi Takut

Ada kebahagiaan saat mendengar kabar orang terdekat akhirnya berani dan mampu untuk melakoni apa yang benar-benar dia inginkan. Seperti apa yang ditulis oleh si nyonya lasak itu di sini. Lantas, ada nyengir-nyengir pahit setelah membaca tulisannya. Nyengir-nyengir yang ditujukan pada diri sendiri. Tulisan itu mengingatkan saya pada suatu masa yang belum terlalu lama sebetulnya. Pada waktu itu, saya pernah begitu percaya diri untuk berganti pekerjaan. Keinginan untuk meninggalkan apa-apa yang saya tekuni selama belasan tahun dan memulai sesuatu yang benar-benar baru dan (mudah-mudahan) saya sukai. Paling tidak, begitulah rencana gagah berani itu saya bayangkan. Saya memulainya dengan mengundurkan diri dari tempat saya bekerja dan meninggalkan Tokyo.

Begitulah, di puncak musim dingin, saya meninggalkan Tokyo dan kembali ke Bogor yang hangat. Beberapa bulan berikutnya kegiatan saya hanya diisi dengan “berlibur”. Menyenangkan memang, sampai suatu saat saya merasa bosan menjadi pengangguran begitu. Masalah dimulai di sini. Ada beberapa tawaran pekerjaan yang datang sebetulnya, hanya saja ternyata saya tidak segagah berani yang saya kira. “Kemapanan” selama belasan tahun tampaknya menjadikan saya selembek agar-agar untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru. Sering kali saya bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan “bagaimana jika …”.  Singkat kata, saya takut.

Cerita selanjutnya, saya akhirnya memilih bekerja kembali di bidang yang nyaris sama dengan pekerjaan saya sebelumnya. Tipis saja bedanya, dahulu di darat sekarang di laut. Memang benar ada banyak orang yang baru saya kenal, tetapi banyak pula orang yang sudah lama sekali saya kenal di pekerjaan saya yang baru tersebut.

Lantas, apa yang “salah” dalam kasus saya itu sehingga tidak sesuai rencana? Selain soal keberanian, masalah terbesar bagi saya adalah saya tidak punya rencana yang baik pada saat memutuskan untuk berhenti bekerja dari tempat lama. Paling tidak, rencana yang saya miliki saat itu tidak jelas, amat sangat umum. Impulsif? Bisa jadi begitu. Beberapa orang-orang terdekat sudah mengingatkan saya tentang hal ini sebetulnya. Tapi dasarnya saya kepala batu, degil, saya selalu menjawabnya dengan jawaban ngeyel “ah bisa kok”. Kenyataannya, toh sampai sekarang tetap belum bisa.

Hanya bermodal keberanian di awal serta tanpa rencana yang jelas, bukan cara bagus untuk memulai sesuatu yang baru. Kepada si nyonya lasak, saya masih harus banyak belajar.

Join the Conversation

30 Comments

  1. Hmmm, memang untuk melakukan sesuatu yang baru dibutuhkan 2 kali lipat keberanian daripada melakukan sesuatu yang sudah biasa.
    Sayangnya, saya pun juga sering terbentur dengan hal2 seperti itu. Ibarat kata, udah tau solusinya, eh.. masih tetap mempersoalkannya.
    Salam. 🙂

  2. Kok mirip dg yg saya alami sekitar 3 th lalu ya? Bedanya saya gawe di negara gurun, Bahrain..
    Yg jelas pertimbangan resign ada kemungkinan sama, banyak uang di negara orang ibarat sayur tanpa garam, sedikit sekali nikmatnya,hehe..

  3. hahahahaha….*nda sopan, ngetawai orang tua*
    saya ingat dulu, perbincangan tokyo-balikpapan itu selalu dijawab: ah, mau brenti, udah kaya!
    uh, sombong.
    saya nanya juga: meninggalkan yang 17 tahun dijalani, yakin bisa? katanya: kan enak, bisa jalan2 terus
    tiga bulan kemudian: diantara dua pilihan, darat dan laut. ternyataaa… :)) kerja di tempat yang sama lagi

    hahahahaha…. *pletak, anak durhaka, ngetawain lagi*

    tapi kayaknya kita sama kok, pak, saya resign tapi balik lagi ke kerjaan sejenis. huh, penakut!!!!

Leave a comment

Leave a Reply to pargodungan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *