Pulau Moromaho itu pulau yang relatif kecil saja ukurannya, saya menduga-duga hanya 100-an hektar. Tetapi jika waktu surut, ukuran pulau ini bisa bengkak beberapa kali karena karang yang tadinya ada di bawah air seolah muncul ke permukaan. Ada sebuah mercusuar di sini, tetapi penjaganya entah di mana. Sebagian pulau ini ditanami kelapa, entah sejak kapan. Seorang petani kopra yang saya temui bercerita, dia pertama kali ke pulau ini untuk menemani kakeknya membuat kopra tahun 1974. Sebagian lain lahan pulau ini ditumbuhi bakau yang menjadi tempat bersarang Angsa-batu kaki-merah (Sula sula) (foto di atas). Saya tidak menemukan sarang Cikalang besar (Fregata minor) di sini, tetapi mungkin saja ini bukan musim burung ini untuk bertelur.
Menjelajahi hutan bakau untuk menghitung sarang bukan pekerjaan ringan untuk orang dengan usia dan stamina seperti saya. Agak berat rasanya mengangkat kaki yang bolak-balik terbenam di lumpur bakau hingga lutut, atau menjaga keseimbangan pada saat berjalan di atas akar-akar lutut bakau. Sudah lama memang saya tidak melakukan pekerjaan ini. Jika saya boleh girang, maka itu adalah karena mata saya masih awas untuk melihat burung. Jika ada pestasi lain yang boleh dibanggakan adalah, saya keluar dari hutan itu tanpa satu kotoran burungpun yang mendarat di kepala saya.
Ikan menjadi lauk utama sebagai teman nasi. Begitu mudah didapat, begitu segar. Tinggal pilih, bakar atau goreng. Selain laut, bagian bawah hutan bakau menyediakan begitu banyak ikan yang sangat mudah ditangkap. Sekarang tinggal faktor bosan saja yang berbicara. Pertama kali makan komentar yang terlontar adalah “waaaah enak sekali“, hari berikutnya, “enak“. Hari berikutnya lagi, tidak ada komentar. Lantas esoknya, “ada yang lain?”
Hidup dikelilingi air maka soal mandi sepertinya bukan masalah. Salah! Kami dikelilingi air laut. Bisa saja berenang pada saat pasang tengah hari, tetapi sesudahnya harus dibilas dengan air tawar bukan? Ini dia soalnya, tidak ada air yang benar-benar tawar di pulau ini. Maka air sumur yang sedikit payau dan (awalnya) berbau adalah pilihan satu-satunya. Kami ada membawa bergalon-galon air tawar memang, tetapi itu lebih untuk keperluan minum dan memasak. Jika saya boleh pamer ke seseorang soal mandi maka saya akan bilang “Ini benar-benar pulau idamanmu nduk.”
Sore dan senja hari adalah saat yang menyenangkan di pulau ini. Tidak panas dan pemandangannya luar biasa indah untuk saya. Duduk di pantai beralaskan daun kelapa kering, menyesap kopi atau teh hangat sambil menunggu matahari terbenam, aih … sampeyan berharap ada pujaan hati duduk di samping. Ya di samping, bukan di pangkuan, berat soalnya apalagi setelah seharian kaki ini letih diajak berjalan.
Gelap mulai datang, demikian pula dengan masalah terbesar hidup di pulau ini. Nyamuk memang banyak, tapi ini tak seberapa. Masalah utama adalah agas, serangga kecil sekali sejenis lalat yang gigitan serta gatalnya dijamin terasa untuk beberapa hari setelahnya. Ada bintik merah kecil di kulit yang seolah meraung-raung minta digaruk. Terlalu kerap digaruk, luka adalah hasilnya. Satu dua bintik merah, tidak masalah, tetapi saya memiliki puluhan bintik merah di satu kaki saja. Entah ada berapa di kaki sebelahnya, tangan, leher dan muka.
Jika nyamuk dan agas merajalela di pulau ini, lantas bagaimana bisa tidur. Ya tidurlah di luar pulau. Rumah-rumah panggung sementara yang dibangun di wilayah pasang surut oleh para petani kelapa pada saat mereka membuat kopra adalah hotel mewah. Bebas nyamuk, agas dan angin. Hangat dan menyenangkan, ditambah dengan obrolan ringan di malam hari. Saya tinggal di pondok Pak Rusli yang sudah satu setengah bulan di pulau ini membuat kopra. Tahun ini hasil kebunnya lumayan katanya, walaupun tak sampai 20 ton kopra. Entah berapa hasil yang didapat kawan-kawannya yang lain. Saat ini dia sedang menunggu kapal yang akan menjemputnya dan membawa kopranya ke Bau-Bau. Enam bulan lagi, dia akan datang lagi ke pulau ini untuk membuat kopra.
Pada saat luang, menyelam adalah kegiatan yang paling saya suka. Wakatobi terkenal ke berbagai penjuru dunia sebagai salah satu tempat tujuan wisata menyelam. Semua titik selam yang sudah saya selami di Wakatobi benar-benar indah. Jumlah jenis ikan dan karangnya, wuiiiih … mana tahan. Bahkan di Pulau Tomia, ada sebuah diving resort yahud kelas atas. Resort ini bahkan memiliki bandar udara sendiri yang didarati pesawat charter dari Bali. Konon kabarnya, resort dengan paket seharga ribuan Euro ini sudah penuh hingga akhir tahun 2010. Entah benar entah tidak.
Hidup di pulau ini selama beberapa hari benar-benar mengingatkan saya akan waktu pada saat semua tampak begitu sederhana. Saya berharap, suatu hari nanti saya akan kembali lagi ke tempat ini.
semoga keasriannya akan selalu terjaga ya pakde
Asyik… Pak Dhe nonton manuk lagi… Sarangnya Sula banyak Pak Dhe?
Ikan yang mudah ditangkap? Woooow. Tapi bosen juga.
Gak mau nyamuk? Tidur di luar pulau. Tapi gimana warga setempat “bersahabat” dengan nyamuk?
gubug di atas air?
tidur di mana-mana ya gampang, tinggal merem aja :P…eh sampeyan ga bawa rombongan Nat Geo Adventure, sopo ngerti aku bisa nonton sampeyan kan 😀
wah..tangkapan ikannya banyak juga pakde
nyeeeeeeh.. mengiri sangaaaaaat… 😥
marahi pengin wae.
Mbok kalau plesiran kek gini ajak2 saya pakdhe, tak syuting wes, tak bikinin trip video wes *melas*
kegiatannya seru sekali sepertinya, jadi pengen jalan-jalan, liburan *tapi cuti tahun ini sudah habis*
njenengan iki ndagel, la piye sing arep ketelekan mustaka njenengan, la nganggo topi ngonoww …..
sama saya punya pertanyaan, apakah ada spider yg bisa bikin sarang bentuknya seperti sarang burung, meski ukurannya kecil saja? saya nemu sarang di pohon khaki, ketika saya ambil sedikit sarangnya terasa seperti kumo no su.
saya penasaran. saya ada potonya.
dasar buruh kelas teri… pingin jalan aja susahnya minta ampun..
*meratap
wah keliatannya menyenangkan pakde…yang lalat kecilnya itu pake autan bisa ndak yah?
Cuman mau protes judulnya,harusnya bukan bolang/bocah hilang…tapi selang/sepuh sepuh kok ilang,tulang/(pak)tua yg ngilang,atau jalang/(tiyang) jaler sing ilang…
Waduh iri aku dengan dengan si bolang yang bisa main kemana-mana..
agas, nyamuk.. waduh.. paling nggak kuat menghadapi keduanya.. wah, bisa dibuat dokumenter bolang versi dewasa ini pak.. 🙂
jadi inget pas ke tidung.
makan siang: asyik! ikan tongkol!
makan malam: ini tongkol, ya?
sarapan: aduh, tongkol lagi?
makan siang: *ambil telor dadar*
Hehe jadi inget cerita teman saya waktu malam minggu kemarin, “di pulau Ende minum kopi rasanya bukan dicampur ma gula, tapi GARAM.”
Mantab nih perjalanannya… nggak ada ditayangkan di tivi kah? 😀 hehe..;.
nanti ke sana lagi.. SAYA IKUUUUT
Berulang-ulang kali saya selalu mengatakan kedalam hati bahwa seindah-indahnya LN, masih jauh lebih indah di Indonesia.. semoga harta karun ini terus bisa terjaga dan tulisan ini selalu mengingatkan kampret nyasar macam saya ini agar juga bisa pulang dan menikmati keindahan alam negeri sendiri.. salam hangat dari afrika barat!
*lirik komentar di atas*
Saya tau luar negeri cuma dari media massa dan cerita orang aja, jeh. Belum pernah keluar Indonesia. Tapi di Indonesia pun masih banyak titik yang saya pingin hinggapi.
Salah satunya tempat yang diceritakan om2 yang membuat ngiri ini…
bikin saya jadi pengin saja pakde :D, kalau ngga mandi seminggu atau dua, ah biasa 😀
Sekarang complicated ya Dhe? 😀
dan saya pun iri…
wah,jadi pengen kesana..
Minta tangkapan nya dong???