Saya kagum, sejujurnya, dengan keberanian Depkominfo mempublikasikan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia (RPM-KM) untuk dilihat/dibaca dan dikomentari oleh publik. Saya juga senang dengan niat baik seperti yang tertuang pada bagian awal RPM-KM. Marilah rancangan tersebut dibaca, sebelum mengambil sikap. Begitulah, saya lantas membaca rancangan tersebut, berkali-kali, disertai dengan melihat-lihat sumber lain, salah satunya yang dilansir di situs Depkominfo di sini. Berkali-kali membaca karena sulit bagi saya untuk memahaminya. Hingga pada saat saya telah lelah membacanya, saya lantas tiba pada titik di mana saya bertanya, apa ini semua perlu? Bagi saya, itulah masalahnya.
Saya bukanlah ahli hukum, walaupun saya sering kali dihukum oleh guru-guru di sekolah dulu. Pada masa kuliah, hukum yang saya pelajaripun adalah hukum Mendel. Sudahlah, bagaimanapun bagi saya, hukum, aturan-aturan itu perlu. Ini bukan soal represi atau pembatasan, karena bagaimanapun yang namanya aturan tentunya ya membatasi. Persoalannya adalah, kembali ke pertanyaan saya di depan, apakah aturan-aturan yang tercantum dalam RPM-KM itu diperlukan?
Menurut pendapat saya, RPM-KM itu lebih diperuntukan bagi “Penyelenggara Jasa Multimedia” bukan end-user (pengguna layanan seperti saya). Setahu saya, dan sudah menjadi kewajaran yang umum, apa-apa yang diminta oleh RPM-KM sudah diberikan oleh para penyelenggara jasa dalam “Terms of Service” atau “Syarat atau Kebijakan Layanan”. Lagi pula, janggal rasanya membebankan tanggung jawab isi kepada penyelenggara bukan kepada pengguna layanan. Maka dalam hal ini, bagi saya, RPM-KM adalah hal yang janggal dan tidak diperlukan.
Lantas di dalam RPM-KM juga disebut soal Tim Konten Multimedia. Inilah Tim yang terdiri dari 30 orang, diketuai oleh seorang Direktur Jenderal, yang 50% anggotanya berasal dari unsur pemerintah dan 50% lagi dari unsur masyarakat serta bermasa kerja 1 tahun. Tugasnya? Menerima pengaduan dan memeriksa konten dan akhirnya menjatuhkan putusan apakah konten termasuk dilarang atau tidak. Jika konten dinilai harus dilarang, maka penyelenggara akan diminta untuk meminta pengguna menghapus konten. Jika pengguna emoh menghapus konten, penyelenggara harus menutup akses terhadap konten. Lantas, jika penyelenggara tidak patuh, maka menteri yang akan turun tangan memberikan sangsi terhadap penyelenggara. Lantas, konten yang dilarang itu yang bagaimana? Ada di Pasal 6 dan 7 RPM-KM, dan menurut saya isinya sungguh karet. Kesia-siaan.
Sudah selesai? Belum. Berikutnya adalah, bagaimana nanti implementasinya jika RPM-KM ini setelah resmi menjadi Peraturan Menteri? Pakai ilustrasi saja. Misalnya, adalah saya seorang bocah tua nakal menulis di blog yang hostingnya di sebuah penyedia jasa layanan hosting blog dalam negeri. Lalu sebuah tulisan saya dianggap keterlaluan nakalnya oleh Tim Konten Multimedia. Maka yang akan terjadi adalah, seperti yang sudah saya tulis di atas. Tetapi saya tak kalah goyang, tulisan tersebut saya pindahkan ke layanan blog di luar negeri (misalnya WordPress) … apa yang bisa dilakukan oleh Tim Konten Multimedia? Meminta Menteri menghubungi Matt Mullenweg di WordPress lantas berkata “Pak Matt…saya pesan, itu blog si bocah tua nakal engkau tutuplah aksesnya. Jangan pake lama ya. Eh iya…kalau tak engkau tutup aksesnya, kucabut nanti ijin usahamu.” (catatan: ini dialog fiktif yang sudah diterjemahkan). Bisa begitu?
Ringkasnya, semua ini tak perlu. Penyelenggara layanan tak perlu dihukum karena kelakuan penggunanya dan penggunanya sudah diberi aturan dalam bentuk “Terms of Service” atau “Syarat atau Kebijakan Layanan” yang diterapkan oleh penyelenggara layanan. Lagipula, jika Depkominfo memiliki sumberdaya (termasuk “energi”) untuk melanjutkan semua proses untuk menjadikan Rancangan Peraturan Menteri menjadi Peraturan Menteri, alangkah baiknya jika sumberdaya itu digunakan saja untuk mendukung atau menambah dukungan bagi Kampanye Internet Sehat, menggalakkan peningkatan mutu konten lokal dan memperbaiki infrastruktur internet di negara ini.
Begitu menurut saya. Tabik.
sepakat sepenuhnya. gamblang… tapi, yang terpapar di atas adalah argumentasi Si Mbilung. Si Togog pasti punya kemauan sebaliknya…
Omong-omong, Togog-nya yang mana ya? yang berinisial T apa S? xixixix….. Terserah….. Siapanya…. :p
akhirnya berhasil juga menyelesaikan bacanya?
*saya kok nggak tahan pengen komentar*
dasar bocah tuwa nakal tukang ndobos! π
lhek ngono ganti ae ember e Pakdhe, mesti kuwi ember import teko chino .. piye Padhe, biasa e lek made in amerika atau eropa kan lebih okayyyyyy
kalo aku, jujur aja, ga baca dan males baca RPM itu, dhe. ga betah. hihihihi…
tp pertanyaan pakdhe bener: (RPM itu) nggo opoooo?
baca reviewnya dari sini aja udah cukup kekeke~
Mending buat nambah infrastruktur dari pada riwil ngurusin ini itu yg pasti ribet utk diurusin.
Saya yg 30menit dari Surabaya aja kesusahan dapat akses internet dari speedy, infrastruktur ga mendukung kata mbak speedy π
mumet liat rancangan aturan itu….ga jelas dan ga perlu. kok ya kerjaan gitu diurusin, internetan aja masih susah
Kabarnya, publikasi dan termasuk juga uji publik memang wajib dilakukan. Kalau tidak ada publikasi atau publikasi tak jelas, itu baru aneh. Jadi tak perlu terlalu kagum lah dengan “keberanian” departemen tertentu :D.
Klo pake WP dicekal, ya ganti pake blogspot. Klo dicekal juga, ya pake tumblr, multiply, detik, kompasiana. di cekal juga? Balik lg pake WP dg akun lain, tgl lht siapa yg kurang kerjaan nantinya. π
Rumit rumit. Nampaknya sudah saatnya istilah “pemerintah” diganti “pengayom”
Huaaaa, hiks, hiks, komen saya gak muncul.
Error in connection atau dimoderasi ini ya? π
rancangan aturan ini emang emberrrrr…bgt deh ah
sepakat sama sampeyan pakdhe, masih banyak yang lebih penting untuk didahulukan daripada ngurusi penyelenggara. wong ngenet masih lambat dan mahal kok sudah dilarang-larang
tumben ngeblog serius2 Pak π
sudahlah, RPM konten itu memang ndak mutu kok…mosok gara2 HP bisa buat ngerekam adegan porno, terus HP mau dikontrol pemerintah gitu? Tabik lah
halah… lha wong bau proyeknya menyengat gitu kok ya…
mbikin proyeknya yang canggih dikit napa…
jadi inget postingan burung prenjak. buat apa? yah buat mengandangkan (membungkam) makhluk2 yg terlalu crewet itu loh… π
“Eh iyaβ¦kalau tak engkau tutup aksesnya, kucabut nanti ijin usahamu.β (catatan: ini dialog fiktif yang sudah diterjemahkan). Bisa begitu?”
Kasus internet yang di Cina bukan mirip gitu ya pak?
wah ga tau aku aturannya gimana….. bingung ahhhhh
menteri harus ngeluarin permen paling tidak satu
….sebelum di reshuffle
;))
cuma cari proyek aja tuh pemerintah. tanya anggarannya berapa? diaudit BPK gak, diaudit sama KPK gak, diaudit sama, LPK gak….??
ada-ada aja kerja pemerintah π
sesungguhnya itu ndak sia-sia…bayangpun berapa budget yang diperlukan untuk itu semua…hmmm…slurrrppp…nyam-nyam…
byuuuhhh emang cari kerjaan keknya..bener Om, buat apa nambah kerjaan, kerjaan yang sekarang saja yang dimaksimalkan >.<
lucu lagi, ketika mereka mengusulkan untuk tidak boleh anonim atau menggunakan nama samaran. orang batak bilang, pekok!
wah,bakal kie…blogku termasuk blog mesum..hahhahah
* tambahin*
biasa pakde,kyk ga tahu endonesia..mentri anyar….kemaki dan sensasi itu wajib….biar bsk2 di pake lagi….
itu seh hanya pekerjaan yg sia2,sama seperti kebijakan yg dulu tentang pemblokiran situs2 yg mengandung pornografi…toh skarang dah g ada gunanya lg…
semua tergantung niatnya( : kitab suci ), segala aturan pasti banyak celah yang akan menimbulkan aturan2 baru, owalah..indonesia
ancene wong gak isooo iku sing nggawe aturan…….
Asal berbicara tapi gak tau apa yang harus dilakuin setelah itu????…itulah negara kita..