“Malam ini saya akan menikmati bulan separuh, bintang dan ombak” begitu pikir saya. Sebentar nanti memang akan ada pertunjukan seni anak-anak sekolah menengah di bale pesandekan pura di Pantai Atuh, Nusa Penida. Saya tidak begitu tertarik. Cerita jadi lain ketika awan mulai datang menutupi pemandangan langit, dan saya yang nyaris tanpa pilihan lantas duduk bersandar pada tiang menyaksikan pertunjukan seni. Menghibur, tetapi tidak ada yang istimewa, hingga nyaris di ujung acara. Semua berubah ketika tarian yang bercerita tentang murka alam dengan tujuh matahari dan sembilan mata angin itu ditampilkan.
Penari utamanya seolah bersinar. Gerak dan postur tubuh, tangan, kaki, mata dan ekspresi wajah, semua menari. Ini sihir, begitu pikir saya. Selepas tarian, saya bertanya kepada teman, siapa penari tadi? Dia tidak tahu, hingga keesokan paginya, teman tadi mendatangi saya dan menunjuk sang penari yang tengah bercanda dengan teman-temannya. Saya sulit mempercayainya. Dia seperti anak-anak lainnya saja, tidak terlihat ada yang istimewa pada dirinya. Singkatnya, saya melihat dua orang yang amat sangat berbeda dalam bungkus yang sama.
Sebetulnya hal seperti ini sering saya alami di dunia blog (jika saya boleh menyebutnya begitu). Seseorang yang tulisannya menggelegak marah, melompat jenaka atau dalam menusuk. Pada saat saya berjumpa, mereka adalah orang yang berbeda dan amat sangat jauh dari bayangan saya. Bahkan kosa kata yang dipakai untuk berbincangpun sangat berbeda. Blog seolah menjadi topeng dan saluran emosi dan itu tidak terlihat pada wadak kasat mata sang penulis.
Walaupun tidak sedrastis sang penari, pada tingkatan tertentu, sebetulnya saya juga mengalami hal seperti itu. Kata beberapa teman dekat, saya dapat berubah menjadi “orang lain”, tergantung saat itu saya sedang berada di “panggung” apa. Saya pernah bertanya pada seorang kawan baik (yang juga orang baik), ada berapa topeng sebenarnya yang saya punya? Bagaimana wujud asli saya tanpa topeng?
Dahulu seorang teman penah berkata kepada saya pada saat dia melihat muka saya sedang berseri-seri ceria, “… kamu itu sudah besar, mbok topeng monyetnya dilepas…”
Foto: Wira Sanjaya
woh, kayak saya. kepribadian ganda. eh? kok bangga ya? 😀
Sebenarnya kita semua pake topeng kok dhe, cuma mungkin ada yang topengnya transparan, ada yang topengnya tertutup rapat seperti spiderman, ada yang cuma separo seperti batman, atau yang cuma sekedar menutupi mata seperti robin
wuih ini koq updatenya lebih dari 1 baris……
*membayangkan pakdhe maen topeng monyet* 😆
topeng itu musti fleksibel, bisa disesuaikan dengan segala situasi dan kondisi *halah*
Kadang bikin kita bingung, diri kita manakah yang asli?
:O
Ndak, menurut saya itu semuanya asli…. tapi tapi, untuk ukuran orang indonesia yang rada-rada ‘kalem’ en ‘sopan-sopan’ ndak pantes (dan nggak mungkin) rasanya kalau ‘bergaul’ dengan bahasa lisan yang kasar.
Ejadinya pas di blog, digunakan sebagai media katasis habis-habisan (maki-maki, nyampah, dsb.) sebagai pembalasan dendam :))
Epadahal di blog kan kita juga ketemunya dengan manusia 😐 , sama halnya dengan di dunia nyata.
dunia ini…panggung sandiwara…cerita yang mudah berubah
haha…iya lho, orang yang udah pada gede itu masih suka pake topeng monyet…
jadi inget lagunya Peter Pan 😆
etapi serius, saya dulu pengen banget ketemu Pakde, cuma agak-agak serem dulu ngebayangin Pakde itu orangnya serius banget. Ternyata… 😆
sampeyan topengnya sakti, mirip di film the mask, musti nunggu petir baru bisa copot… 😉
iku jenenge taksu, pakdhe. mimi rasihan, maestro tari topeng, umure wes 80, wes peyot lan naik kursi roda. tapi begitu dia di atas panggung, wes jyan tenan: mimi rasinah dadi koyo primadona maneh 😀
typo: maksude Mimi Rasinah 😀
asal jangan ngeblog isine pisuh marai kisruh … duh mumet Pakde…
foto nya kok belum ada yang kasih comment? hehe
nek aku konsisten yo, dhe, topengnya?
posting blog, milis, twit, palagi ketemu langsung, saru kabeh :))
kalo dalam kamus orang bali namanya ‘taksu’
kalo ndak salah.
tentang mimi rasinah, saya hanya baca dari kumpas, dan cerita istri saya yang nonton pertunjukan beliau secara langsung beberapa bulan lalu. kata istri saya dahsyat.
kalo di malang ada mbah karimun, tapi sampai beliau berpulang dua bulan lalu, saya belum pernah melihat mbah karimun nari topeng panji
Blog bisa jadi penyaluran alter ego, Sir.. 😀 Tapi -seperti kata Sir Mbilung – bukankah di kehidupan nyata pun pribadi orang bisa berubah-ubah? 🙂
jadi sekarang sudah dilepas belum topengmu Dhe ?
atau jangan2 yg ketemu saya waktu itu monyet beneran ?
:pasang helm+kevlar: wkkk
penarinya cantik…. saya suka… 🙂
saya belom pernah bertemu sampeyan langsung
tapi saya yakin sampeyan itu keren
dan ga pake topeng
🙂
saya belom pernah bertemu sampeyan langsung *rasanya*
tapi saya yakin sampeyan itu keren,
dan tanpa topeng 🙂
jadi ada berapa? tujuh-pangkat tujuh? 🙂
Waktu memakai topeng itu pas sedang ngeblog atau pas sedang ketemuan orang lain, Pak Dhe? ;p
Tenkyu Pak Dhe udah ikhlas ditodong makan sambel. How’s the book?
bolehkah topeng disebut sebagai pencitraan?
eh, sama ngga, sih? 😀
Taksu penari Bali ….. Hindu Bali ada Pura khusus untuk penari. Coba dech Mas baca novel Tarian Bumi – nya Oka Rusmini , atau Ayu Manda – nya Iwan
“Tapi buka dulu topengmu”kayak lagunta peterpan aja
jadi pingin ngelepas topeng yang ada didiri ini…..
pak dheeee, kapan kita ke timbuktu? 😀 *pasang topeng donal bebek* xixixixi 😀