Bagi saya, yang namanya toilet, jamban, peturasan, tandas, kamar kecil, bilik air, apapun namanya itu, adalah soal penting. Manakala saya harus menginap di sebuah penginapan misalnya, maka tempat yang pertama saya longok adalah jamban. Bukan untuk langsung melepas hajat, tetapi untuk melihat apakah hajat saya bisa dibuang di tempat itu, atau malah hajat enggan keluar dan tetap bersemayam di dalam tubuh hingga saya menemukan jamban yang layak tongkrong.
Bersih, tak berbau yang gimana gitu, dan kering itu salah tiga syarat utama. Lokasi dan cara pemakaian tidaklah begitu penting buat saya. Western (mengacu pada jamban duduk) atau Eastern (mengacu pada jamban jongkok) tidak pula menjadi soal. Dahulu saya pernah menemukan jamban apung umum di sungai yang ditempatkan di atas ponton. Tiga syarat tadi dipenuhinya dan masih ditambah goyangan karena ombak akibat kapal yang lewat, yang mampu menambah sensasi nikmat.
Sayangnya, di banyak tempat umum, yang namanya urusan peturasan seringkali terabaikan (saya mencoba berbaik sangka dengan menggunakan “ter”). Mungkin pengelolanya berpikir, toh kalau sudah kebelet seluruh pancaindra (dan akal sehat) akan tertutup, buktinya pohon dan semak ya masih laku.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, kadang ruang kecil itu juga berfungsi sebagai tempat untuk mencari inspirasi dan lahirnya sebuah ide dikala ruang kerja sudah terasa begitu sesak. Dalam urusan ini, tentunya saya tidak ingin pancaindra saya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan untuk dilihat atau diendus. kenapa di jamban mencari idenya? Begini, jika sang peminta ide berkata dengan mimik kecewa “Your idea is sh*t!!” saya dengan gagah bisa berkata balik “Exactly!!”
Dalam urusan satu ini, saya ingat sekali apa kata Bapak saya. Begini ujarnya, “tas yang paling enteng dan bar yang paling menyenangkan adalah tas/bar nguyuh atau tas/bar ngising” *maaf
ancene pak, penak tenan lek mari ngising, iku termasuk klasifikasi suwargo cilik
hidih! Pakde emang paling bisaaaaaaaa…. 😆
ha..ha….bisaaaaa baen ….
.Priwe kabare Lik?
akuuur deuh kang… temenku malah toilet itu buat melepas ngantuk barang 10 menit:)
Samaan, Pak Dhe. Tapi yg saya suruh melongok ya si Papap 🙂 Di Tokyo, saya cuma mau pipis di Kinokuniya Shinjuku. Kemana pun jalan2nya di Tokyo, pulangnya harus lewat situ hehehe
hihihi emang wc itu butuh tempat yang nyaman buat konsentrasi ya pak dhe 😀
diupdate juga pak de , tulisannya lucu. hahahaha
kakung wito sing marahi ya……dari cucakrowo
Yang bikin saya bangga adalah jamban kita di tempat umum seringkali lebih baik daripada yang ada di malaysia. Wajar saja kalau lagu2 kita lebih merdu karena “shit” kita dikeluarkan di tempat yang lebih pantas.
konon, manakala ada yang keluar pada saat yang bersamaan ada pula yang masuk
bisa jadi saat itu inspirasi dan ide bermasukan–halah!–
tapi onok maneh seng luweh enteng, pakde. tas ngising cawik. enteng. lah, opo sampeyan gak cawik lak bar ngising?hwahai *sepuntene, pakde. guyon kulo nglamak*
ah hiya, sebuah ide datang di saat tubuh sedang merasa rileks.. kalo gitu, sering-sering nongkrong deh. ikikik.
Nongkrong di WC emang asyik.
aku malah pernah nulis teori (sotoy)nya, pak dhe. soal dapet ide dari toilet
http://matthrixx.wordpress.com/2012/01/14/248/