Pulang

Hampir selama empat tahun terakhir ini, jika saya menyebut kata “saya akan pulang” itu berarti saya akan ke Bali. Kata “pulang” identik dengan “Bali”, tempat di mana saya bekerja dan tinggal. Lantas kenapa kalau saya pulangnya ke Bali? Soalnya adalah, rumah saya yang sesungguhnya dan keluarga saya ada di Bogor. Saya baru menyadari soal “pulang” ini setelah diberitahu oleh Dewi.

Sekitar sebulan yang lalu saya memutuskan untuk berhenti bekerja di Bali dan kembali ke Bogor. Lantas ada banyak yang mengucapkan selamat atas “pulangnya” saya ke Bogor.   “Akhirnya, pulang juga” dan mereka turut gembira, demikian katanya, walaupun pada saat saya di Bali tidak ada yang bilang ke saya kalau mereka sedih.

Sejujurnya, perasaan saya campur aduk pada saat harus kembali ke Bogor. Praktis sejak tahun 1997 saya seringkali bepergian meninggalkan keluarga. Puncaknya terjadi di tahun 2001 hingga sekarang. Ini bukan soal senang atau tidak. Saat ini saya lebih berpikir bagaimana caranya beradaptasi kembali ke kehidupan keluarga yang “normal”, dimana semua berkumpul di bawah satu atap.

Pada saat saya sedang “menengok” keluarga di Bogor, saya sadar bahwa saya tidak bisa berlama-lama di rumah. Jika saya terlalu lama berada di Bogor, anak saya yang paling kecil akan bilang “Bapak kapan sih balik lagi ke Bali?! Sudah kelamaan di Bogor.” Kalau sudah begini, saya juga merasa tidak nyaman, karena kedamaian anak saya itu sudah terusik oleh kehadiran sang pria tampan nan baik hati tetapi berkelakuan ganjil.

Sementara ketika saya sedang menjadi bujangan geografis di Inggris, Jepang dan kemudian di Bali, aturan yang ada adalah aturan saya, mau-maunya saya, kalau situ ada masalah itu masalah situ bukan masalah saya. Ini sangat menguntungkan buat saya, karena saya sangat impulsif. Bisa saja saya bangun pagi tiba-tiba hendak pergi birdwatching di Titchwell, atau di Teluk Tokyo, atau menyelam di Tulamben, atau ingin nongkrong dengan teman-teman di Jogja, dan saya langsung saja pergi. Tidak perlu rencana, tidak perlu memikirkan orang lain. Hal-hal begini tentunya tidak lagi mudah saya lakukan.

Hal lain adalah, ketika saya pergi meninggalkan rumah, anak-anak saya masih lucu-lucunya. Sekarang mereka sudah dewasa dan mereka juga mempunyai dunia mereka sendiri. Sayangnya, yang tertancap diingatan saya itu, mereka masih anak kecil. Lagipula yang tinggal di Bogor saat ini praktis hanya si bungsu karena kakaknya tinggal dan kuliah di Jakarta.

Belakangan saya sering terkaget-kaget dengan tingkah mereka, yang sebenarnya wajar-wajar saja untuk anak seumuran mereka. Ada kisah pendek soal ini. Pada saat saya memutuskan tanggal kepulangan saya ke Bogor, salah satu faktor penentu adalah tanggal ulang tahun anak sulung saya. Dia berulang tahun tanggal 11 November, dan saya memutuskan untuk kembali ke Bogor tanggal 10 November. Lantas saya menyampaikan “berita bahagia” ini: “Setelah sekian lama, akhirnya Bapak bisa juga besama kamu pas ulang tahunmu nanti”. Jawaban yang saya terima “Tanggal itu aku gak bisa pulang Pak, ada kerjaan!.” Hingga tulisan ini selesai saya buat, saya belum bertemu dia.

Intinya, kami harus saling menyesuaikan diri (lagi). Saya harus mampu menekan dorongan impulsif saya, sementara mereka harus mampu bersabar menghadapi keganjilan saya dan banyak maunya pula.

Join the Conversation

23 Comments

  1. Welcome home! Tapi pahit juga, makin besar anak makin dia jauh dari kita. Apa boleh buat. 😀 Memang harus kompromi. Sebulan lebih saya dan istri dan ragil gak ketemu si sulung, lantas kami ke Bandung. Lha ya kami ngalah, berbagiwaktu, karena dia juga ada acara, sampe temannya yang di Singapura pun langsung terbang ke Bandung. 🙂

  2. Selamat Pulang, pak dhe.
    Terimalah keganjilan2 itu sebagai proses yang memang harus dilalui, sebagaimana dulu pas bangun tidur pasca malam resepsi, kaget kok di sebelah ada orang lain :p

  3. Selamat berkumpul kembali dengan keluarga Pakde. Semoga ga berkecil hati dengan semua hal yang ditemui di rumah. “Menetap” atau pun sekadar “mampir” saja memang berbeda buat Pakde, tapi tentunya ini sangat berarti bagi istri tercinta 😉

  4. horeeee pakde pulangg…

    semoga sang-pria-tampan-nan-baik-hati-tetapi-berkelakuan-ganjil bisa menjadi benar-benar pria yang tampan baik hati dan berkelakuan genap. *eh.

  5. oh senang sekali jika sekali aja seumur hidup mendapat sms seperti itu dari keluarga…

    sayang sudah 10 tahun meninggalkan keluarga besar dan hidup sendiri dan hanya pulang pas lebaran tiba

    salam kenal pad dhe dari blogger Pontianak

  6. hmmm … kata ‘normal’ itu kayaknya perlu ditinjau ulang 2 bulan dari sekarang deh Pak Boss …. welkam to Rare, welkam to the world of ‘normal’ will actually be not so ‘normal’ … *ngikik*

  7. selamat kembali pulang..selamat berkumpul lagi dengan keluarga..
    mungkin memang perlu beradaptasi lagi,tapi tinggal satu atap bersama keluarga lebih menentramkan rasanya. Menurut saya siiih.. hehe..

  8. Saya jadi ingat tiga puluh tahun lalu, ketika bapak ngajak sekeluarga liburan ke Bali, tapi sampai bapak meninggal agustus lalu, keinginan itu tidak pernah terwujud karena semua punya kesibukan sendiri-sendiri. Tidak mau mengalami nasib sama, maka ketika anak saya mulai bisa diajak dolan, saya paksakan mengurangi aktifitas apapun, supaya setiap saat bisa dolan bareng bersama anak istri. Atas persetujuan istri,kami krobankan ekonomi keluarga menjadi hanya berkecukupan. Tapi imbalan yang saya terima, 11 tahun kehidupan yang – menurut saya, luar biasa, yang tidak akan pernah bisa saya tukar dengan apapun seandainya sampai terlewatkan. Sekarang anak saya sudah mulai puna kehidupannya sendiri, saatnya pula bagi saya untuk bekerja beneran lagi. Ekonomi keluarga semakin membaik, tapi sebagian hidup saya justru terasa ada yang hilang.

  9. ‘…dan jalan akan semakin menikung’, ndobos umar kayam pada para priyayi 2
    “semoga anak-anak sampeyan akan meniti jalan yang benar, amiiin!”, (kalo ini kata saya, bukan ujar siapapun)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *