Rumah Pohon

Pada saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya dan beberapa teman memiliki sebuah rumah pohon. Ya “rumah” yang dibuat di atas pohon, entah pohon apa, mungkin Angsana. Rumah pohon itu sebenarnya tak bisa juga disebut rumah, karena sangat sederhana dan merupakan susunan papan-papan bekas saja yang dibuat sebagai tembok dan ilalang sebagai atapnya. Ruangan rumah itu pun sempit, hanya bisa menampung empat bocah kurus yang duduk sembari melipat badan persis aktor sirkus keliling. Saya tidak ingat apakah rumah itu kami beri nama atau tidak.


Walaupun tampak mengenaskan, bagi kami para pemilik rumah pohon, itulah istana kami, benteng kami yang bebas dari campur tangan orang-orang besar, dan di dalamnya kamilah para anak mudanya (anak muda = jagoan). Di dalam benteng itu pula kami punya kemerdekaan bebas dari gangguan anak-anak perempuan yang selalu memaksa kami memetik kembang bougenville untuk mereka main masak-masakan. Walaupun begitu, rumah pohon kami itu belum cukup kuat meredam suara jeritan panggilan ibu-ibu kami yang menyuruh kami untuk keluar dari rumah pohon untuk mandi, mengaji, atau menyelesaikan PR sekolah.

Saya ingat, sewaktu kecil saya tidak memiliki banyak hal yang bisa membuat saya takut. Dari sedikit hal yang bisa membuat saya takut itu, salah satunya adalah larangan untuk bermain di rumah pohon itu. Larangan itu bisa saja menempati urutan pertama sebagai hal yang saya takutkan, jika saja tidak ada yang namanya jeritan ibu. Bisa dimengerti, karena di rumah pohon itulah saya bisa menjadi apa yang saya mau. Di dalam rumah itu saya bisa menjadi superhero, menjadi orang yang lebih kuat dari guru-guru saya (yang rajin nyetrap saya), menjadi Gundala, Godam, Maza, atau siapapun yang saya mau. Rumah itu seolah menjadi gelembung di mana saya dan dunia saya berada.

Akhirnya saya harus meninggalkan rumah pohon itu. Bukan karena badan saya sudah tak lagi muat di dalamnya, tetapi karena Bapak saya harus pindah bekerja di kota lain. Itu merupakan rumah pohon saya yang pertama dan hingga saat ini, yang terakhir. Walaupun sudah berpuluh tahun saya tidak memiliki rumah pohon, tetapi saya selalu merindukan perasaan berada di dalamnya. Saya dan dunia saya, di mana saya bisa jadi apa dan siapa saja. Bermain atau bersenang-senang di dalamnya, bebas dari apapun dan siapapun … hingga ada suara teriakan yang menyuruh saya pulang dan mandi 😀

Join the Conversation

12 Comments

  1. dulu pengen banget punya rumah pohon,..
    tapi nggak kelakon, etapi aku dulu punya loteng…. kalau liburan seminggu duka menghabiskan satu buku petualangan di loteng itu…

    habis itu juga punya pohon jambu, yang bisa dinaiki 4 – 5 anak, waktu itu kami suka main mikrolet mikroletan di pohon jambu itu….,,

  2. Dulu salah satu impian saya adalah punya pondok di atas pohon. Yang baru terwujud ya cuma mendapatkan “ceruk” dan pertemuan dahan yang nyaman dan mentul-mentul di atas pohon gandaria. Ada dua kapling, untuk saya dan adik saya. Kadang saya bawa teman manjat ke atas buat ngobrol, baca-baca, atau makan tape dan sebagainya. Oh ya, sama mengamati orang lewat di bawah :))

    Saya merasakan ini semua sebagai kemewahan karena sekarang saya tidak punya pohon, apalagi yang layak panjat.

  3. Dari kebebasan dan kenyamanan menyendiri di rumah pohon itu ya cikal bakal kesenangan yg menjadi pencaharian, dari bermain burung sampe pakar burung, ya om, ngakuo om

  4. dulu waktu SD pengen kali dibikin rumah pohon sama ayah. akhirnya dibikinin di pohon rambutan belakang rumah, tp cuma papan 3 keping tanpa dinding.
    cukup awet, sampek waktu SMP dipakek buat sembunyi, curi2 belajar merokok hahahahaha

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *