Inilah waktunya untuk menyusun ulang hasil dari kerja sepanjang siang tadi, tiga jam di bawah air berarus kuat.
Kali ini saya ditemani bintang-bintang saja, karena ini saat bulan mati. Ada deram suara generator dari ujung kampung yang memberi nyawa bagi lampu-lampu ber-watt rendah yang berwarna kekuningan, serta televisi berlayar kecil. Iya, televisi, barang yang mampu mengurung orang-orang kampung untuk diam di dalam rumahnya, mereka seperti tersihir oleh apa yang mereka lihat. Kadang saya bertanya, mengapa mereka tak lantas menikmati bintang? Ah, mungkin mereka juga kadang bertanya, mengapa saya tak menonton televisi dan malah tersihir dengan bintang-bintang?
Sesekali saya melirik ke api unggun di sebelah, di atasnya ada cakalang dari Alim, nelayan hitam kekar dari kampung, yang bermurah hati memberikan hasil tangkapannya. Alim, yang kerap bertanya soal kota, berulang-ulang, soal kendaraan yang menyesaki jalanan, atau soal gedung-gedung tinggi. “Apa kaki mereka tidak sakit menaiki bangunan setinggi itu?” tanyanya suatu kali sambil menghembuskan asap keretek murah dari mulutnya.
Buat saya, orang-orang di kampung ini memang ramah, ada senyum di mana-mana, bahkan hansip kampung yang beroman bengis itu sering tersenyum memamerkan gigi-giginya yang kecoklatan. Hanya saja kadang mereka terlalu banyak bertanya soal kota. Tempat yang sayapun enggan ada di sana. Toh orang-orang ini tetap saja memanggilku si orang kota.
Iya, saya memang orang kota penikmat bintang, laut biru toska, cakalang bakar dan kesunyian di tempat jauh, pada saat bulan mati.
Catatan: ini adalah hasil mengikuti kelas menulis dengan tema yang sama dengan judul di atas dari writing table-nya Windy dan Hanny di Yogyakarta, 24 November lalu