Sejak dahulu, manusia gemar mewarnai berbagai macam hasil karyanya. Warna-warna tersebut diperoleh dari bahan-bahan alam, baik yang anorganik (dari tanah yang mengandung mineral tertentu) maupun yang organik (dari tumbuhan dan hewan). Untuk pewarna yang berasal dari tumbuhan (dari getah, daun, batang, buah maupun bunga) sudah banyak diceritakan, tetapi kali ini saya hanya ingin bercerita tentang pewarna yang berasal dari hewan.
Ada beberapa jenis hewan yang digunakan oleh manusia sebagai sumber pewarna, semuanya berasal dari hewan-hewan tak bertulang belakang (invertebrata), seperti serangga, moluska (hewan bertubuh lunak) dan sotong.
Untuk yang dari serangga, ada sejenis kutu parasit tumbuhan kaktus dari spesies Dactylopius coccus dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Hanya kutu betina yang diambil untuk diolah. Gambar di atas dengan jelas menggambarkan mengapa hanya kutu betina yang diambil. Kutu ini kemudian direbus, dikeringkan dan digerus. Bubuk serangga kering tersebut lantas direndam dalam air panas untuk mengekstraksi pigmen utama, asam karminat. Pigmen lantas dicampur dengan tawas atau garam logam untuk mendapatkan warna merah yang diinginkan. Untuk menghasilkan 1 kg pewarna kering, dibutuhkan 150.000 ekor kutu. Pewarna ini masih digunakan hingga sekarang, untuk mewarnai makanan (dengan kode E120), kosmetik dan obat-obatan.
Hewan lain yang juga dipakai adalah moluska dari siput laut Murex (siput bercangkang duri) untuk menghasilkan warna ungu. Pengerjaannya sangat padat karya, rumit dan mahal. Siput-siput yang dikumpulkan dengan teliti diambil kelenjar lendirnya (kelenjar hipobranchial yang berada dekat insang). Kelenjar ini lantas dikumpulkan dan dibiarkan berfermentasi selama beberapa hari. Awalnya tidak berwarna, tetapi setelah bersentuhan dengan udara dan sinar matahari mulai muncul warna hijau kebiruan dan kemudian ungu tua.
Konon katanya diperlukan 12.000 ekor siput untuk menghasilkan 1,4 gram pewarna. Selain rumit, prosesnya juga menghasilkan bau busuk yang sangat kuat, sehingga pengolahannya dilakukan jauh dari pemukiman. Warna ungu yang dihasilkan digunakan untuk mewarnai kain. Karena mahal, hanya para bangsawan dan kaisar yang mampu memperolehnya, sehingga sering kali warna ungu ini disebut sebagai royal purple atau imperial purple. Saat ini royal purple tidak lagi dihasilkan dari siput Murex, tetapi dari pewarna sintetis.
Hewan lain yang digunakan untuk menghasilkan pewarna adalah sotong (Sepia officinalis). Warna yang dihasilkan adalah warna sepia.
Kantung tinta dari sotong diambil secara hati-hati agar tidak pecah. Kantung berisi tinta ini kemudian direndam di air suling dan disaring untuk mendapatkan warna sepia mentah. Cairan ini lantas diendapkan dengan asam cuka dan endapannya dikeringkan untuk kemudian digerus menjadi bubuk. Bubuk ini kemudian dicampur air atau bahan pengikat lain untuk digunakan sebagai tinta cair untuk melukis atau menulis. Sekarang tinta sepia umumnya dihasilkan dari bahan sintetis. Tinta yang berasal dari sotong masih digunakan oleh para seniman klasik maupun oleh para restorator seni.
Konon masih ada hewan-hewan lain, terutama serangga, yang juga digunakan untuk menghasilkan warna tertentu. Tetapi saya hanya mengetahui yang tiga itu, karena saya malas untuk melakukan riset.
Tinggalkan komentar