Sejuta Kabut dan Embun yang Bersahaja

Sudah lebih dari dua tahun saya tidak berkemah, kegiatan yang saya gemari sejak kecil. Waktu kecil dahulu saya sering berkemah di dalam rumah dengan “tenda” dari kursi dan selimut. Ada sensasi yang asing tetapi menyenangkan tidur di dalam tenda.

Berkemah di dalam rumah kemudian naik kelas menjadi berkemah di halaman rumah dengan tenda yang lebih serius. Boleh tidur larut malam, ditemani suara serangga sembari minum teh hangat.

Pada saat di SD sampai SMP saya mengikuti Pramuka dan kegiatan berkemah ini makin kerap dilakukan. Termasuk ikut Jambore Nasional di Sibolangit.

Berkemah karena tuntutan studi sering saya lakukan, walaupun tinggalnya tidak selalu di tenda, tetapi sering juga di pos jaga di tengah hutan.

Setelah berkeluarga, saya kerap berkemah bersama anak dan istri di tempat teman yang berkemahnya tidak pakai mikir. Dari rumah hanya bawa baju ganti. Peralatan tidur dan makanan tersedia melimpah di perkemahan. Lengkap dengan api unggunnya.

Kali ini saya kembali berkemah bersama kawan saya itu. Semoga nanti malam bisa menikmati bintang, sebelum kabut turun (yang juga saya nikmati), serta besok pagi bisa bercanda dengan embun.

Kabut dan embun, dua hal yang saya suka, mengingatkan saya pada lagu Sejuta Kabut karya Iwan Abdulrachman.

Sejuta kabut turun perlahan, merayapi jemari jalanan, meratap, melolong lalu menjauh, menggoreskan kesan ngeri di hati.

Sedangkan embun mengingatkan saya pada lagu Sebelum Cahaya dari Letto.

Ingatkah engkau kepada, embun pagi bersahaja, yang menemanimu sebelum cahaya

Ada yang tahu apa bedanya kabut dan embun?

Komentar

Satu tanggapan untuk “Sejuta Kabut dan Embun yang Bersahaja”

  1. Blogombal Avatar

    Selamat menikmati alam, menyapa halimun.

    Suka

Tinggalkan komentar