
Kami sekeluarga adalah penikmat telur asin. Telur bebek (Anas platyrhynchos domesticus) yang diawetkan dengan cara diasin ini biasanya kami makan dengan rawon atau dimakan begitu saja dengan nasi hangat. Syaratnya hanya satu, telur asinnya harus masir.
Tadi pagi istri saya mengeluhkan telur asin yang dibelinya dari pedagang sayur keliling di perumahan tidak masir. Tumben, batin saya, si kumis sang penjual sayur keliling itu menjual telur asin. Lantas si kumis beralasan kalau telurnya ia beli dari pasar saja. Ia menawarkan untuk lain kali ia akan membeli telur asinnya dari Brebes saja, bisa dipaketkan ujarnya.
Brebes memang sentra telur asin sejak jaman dahulu. Entah kapan persisnya, tapi sejauh saya ingat Brebes selalu identik dengan telur asin dan bawang. Telur asin sendiri bukan cara pengawetan telur bebek yang asli Indonesia. Cara pengawetan ini dimulai dari Tiongkok sejak jaman dinasti Ming dan dibawa oleh para perantau ke Asia Tenggara. Ada alasan mengapa Brebes identik dengan telur asin. Peternakan bebek di sini sangat masif. Tempat lain yang juga terkenal sebagai sentra telur asin adalah Indramayu, Tegal, Pemalang dan Cirebon. Di luar Jawa ada Banjarmasin, Barito Kuala, Medan dan Deli Serdang.
Lantas, apa nasib telur asin yang bukan dari Brebes yang dibeli di tukang sayur keliling?

Istri saya memang penuh ide, telur tadi dipepes. Karena tidak ada daun pisang, maka pepesnya dibuat dengan menggunakan wadah keramik. Buat saya rasanya enak walaupun telur asinnya tidak masir. Mungkin kalau telur asin dari Brebes sudah berhasil didapatkan oleh si kumis, bisa dicoba lagi membuat pepesnya.
Tinggalkan komentar