Dua puluh lima tahun yang lalu saya menjadi salah seorang yang ikut dalam sebuah tim yang mengkaji status keterancaman burung-burung di Asia. Singkatnya tim ini menentukan mana spesies burung yang punah, terancam punah, mendekati terancam punah atau baik-baik saja.
Ada buku acuan yang dipakai oleh tim ini untuk menentukan status keterancaman tadi. Ada berderet-deret kriteria yang harus dikaji dan ada perdebatan panjang yang harus dilalui sebelum tim memutuskan status keterancaman satu spesies burung.
Untuk melakukan itu semua ada banyak pertemuan dan lokakarya bersama para ornitolog dari berbagai negara. Ada banyak spesimen burung di museum banyak negara yang harus diperiksa. Ada timbunan tulisan ilmiah dan yang tidak ilmiah tetapi memuat informasi berharga tentang satu spesies burung yang harus dibaca.
Setelah bekerja selama tujuh tahun lamanya, hasil kerja keras itu akhirnya diterbitkan dalam dua volume buku dengan 3.000an halaman dan berat 5 kg.
Jika ada hal kuat yang saya ingat dari proses itu adalah bagaimana perdebatan tiap kali terjadi untuk menentukan apakah satu spesies itu lantas dilabeli terancam punah padahal data yang kami miliki minim sekali. Saya kerap bertanya kepada tim, are we playing God again?
Kami sadar sesadar-sadarnya, label yang kami berikan tentang status keterancaman spesies itu nantinya akan diacu dan dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan, pembuatan dasar pendanaan yang akan dikucurkan dan aksi konservasi lapangan yang akan dilakukan. Konsekuensinya luas sekali. Jujur saja, saya terbebani dengan hal itu.
Tapi, ternyata saya tidak kapok. Tampaknya saya akan mengulangi proses itu lagi untuk spesies hewan di Indonesia.
Tinggalkan komentar