Ndase Pecah

Hajinguk, ketan bosok, kadal buntung, jaran mendem, … setelah secara sok tahu kakehan cangkem, menasehati, berpetuah, sok tuwek, sok maju dan sok-sok-an lainnya dengan Nana (dan kawan kewan) agar yang diceramahi pindah rumah, jadi yang diceramahi habis-habisan ternyata sambil mingkem itu sedang senyum-senyum simpul nggilani toh?!!

Begitulah pisuhan yang mengawali kegiatan saya di pagi ini, pisuhan yang lebih tepat dimaknai sebagai ungkapan kegembiraan, kesenangan yang berbuncah-buncah walaupun harus diakui saya merasa dikadali secara bersahaja oleh seorang yang saya hormati.

Continue reading “Ndase Pecah”

Bapak

Saya mau tanya, sampeyan itu punya Bapak berapa? Saya punya empat. Nggragas? ya tidak juga tuh. Bapak saya yang pertama itu Bapak kandung, walaupun dia tidak pernah mengandung saya … lha wong Bapak saya yang pertama itu bukan kuda laut kok (info: pada kuda laut, hewan jantanlah yang melahirkan anak-anaknya), tetapi dia yang bertanggung jawab sampai saya ada di dunia ini, separuh dari gen-gen saya berasal dari dia. Bapak saya yang kedua adalah Bapak kandung istri saya. Lha yang ketiga dan keempat adalah orang yang saya anggap sebagai Bapak. Ada kemiripan dari keempat Bapak saya itu, selain fakta bahwa mereka itu bukan kuda laut, …. saya mencintai empat laki-laki itu dengan sangat. Kali ini saya hendak ndobos soal Bapak saya yang nomer tiga.

Continue reading “Bapak”

Takut Pelangi

Seorang kawan berkata “aku mencintai dia Mas, sungguhan ini, aku nggak main-main“. Lantas dia bercerita tentang pria pujaannya itu, pria yang menurutnya penuh pengertian dan perhatian, baik hati, dan semua kualitas baik dari seorang manusia. Pria yang dipujanya setinggi langit itu juga mencintai dia, paling tidak begitu kata teman saya itu. Lha, kalo sudah cocok begitu apa lagi yang ditunggu? Tak mudah ternyata … teman saya yang sesenggukan sambil curhat soal pria pujaannya itu … juga pria.

Continue reading “Takut Pelangi”

Bai Bai

Jum’at kemarin adalah hari terakhir saya mburuh di kantor saya di Cambridge, dan tampaknya bakal lama saya tidak akan melihat kantor itu. Sesudah beberapa belas tahun saya mengerjai kantor itu, akhirnya “hari terakhir” itu datang juga bagi saya untuk mengerjainya. Waktu rasa cepat sekali berlalu. Maka upacara pamitanpun dilakukan dengan diliputi suasana haru (saya) dan gembira (yang dipamiti). Pamitan yang bagi saya mengharukan itu adalah dengan para asisten pribadi (personal assistant – PA), yang entah kenapa semuanya perempuan.
Continue reading “Bai Bai”