Belakangan ada sedikit letupan berita soal tingginya Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lulusan perguruan tinggi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. IPK sendiri adalah nilai rata-rata yang diperoleh oleh seorang mahasiswa selama masa studinya. Nilai maksimum IPK adalah 4.0.
Pada jaman saya kuliah dahulu, memperoleh IPK akhir 3.0 atau lebih dapat mengundang tatapan kagum mahasiswa lain, apalagi jika dibarengi dengan masa kuliah yang pendek (9 semester atau kurang). Saya sendiri di awal kuliah mematok target IPK paling tidak 2.75 agar bisa melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi (S2) dengan beasiswa. Tetapi saya tidak mematok kapan harus lulus, pokoknya asal tidak lebih dari 14 semester (lewat batas ini berarti Drop Out). Pada waktu itu, 9 semester masa perkuliahan dianggap lulus tepat waktu.
Begitulah, kuliah dijalani dengan rada santai, yang penting jangan rajin-rajin dapat nilai C yang artinya bisa menyeret IPK ke angka 2 koma sekian. Dapat D, apalagi E, itu bencana dan wajib mengulang mata kuliah tersebut di tahun berikutnya. Semoga bisa jadi C, syukur-syukur bisa jadi B atau A.
Waktu itu beberapa mata kuliah tidak mengharuskan mahasiswanya menghadiri perkuliahan, semua dinilai dari hasil ujian saja. Beberapa mata kuliah lain menerapkan wajib hadir di 75% perkuliahan (dari sini kemudian dikenal istilah jatah bolos). Jika kehadiran kurang dari 75%, sang mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian dan ini bisa menyeret IPK ke lembah nista dan menjadikan masa perkuliahan menjadi lama karena harus mengulang di tahun berikutnya.
Saya sendiri mempunyai strategi sedikit berbeda. Di awal-awal tahun perkuliahan, saya mengambil sebanyak mungkin mata kuliah yang boleh diambil. Lantas berjalan santai sesudahnya. Dengan cara ini, saya hampir menyelesaikan semua mata kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Sisanya adalah mata kuliah pilihan serta skripsi yang tidak mengambil waktu lama. Lantas waktu “lowong” saya gunakan untuk mengasah kemampuan saya meneliti di alam bebas, dan ini ternyata membuai.
Sangking terbuainya, walaupun IPK terbilang aman, saya nyaris lupa untuk lulus. Mau bagaimana lagi, berkegiatan di alam bebas ternyata menjadi candu.
Setelah diingatkan, berkali-kali, oleh dosen wali dan para dosen pembimbing skripsi, akhirnya saya berhasil lulus S1 tepat waktu… 14 semester. Pas sebelum di DO. Bagaimana dengan IPK? Ah, tidak usahlah disebut, bukan karena aib tetapi toh anda tidak akan percaya.
Lantas, apakah mahasiswa lulusan sekarang yang IPKnya bikin ngeri itu lebih baik mutunya dibanding mahasiswa dahulu yang untuk dapat IPK sedikit di atas 2 saja sudah ngos-ngosan? Saya tidak tahu, karena saya tidak melakukan riset soal ini. Berdasarkan pengalaman saya setelah lulus, IPK tidak pernah ditanyakan pada saat saya akan bekerja, bahkan ijazah juga tidak pernah diminta salinannya. Ijazah dan IPK saya hanya pernah diminta pada saat saya melamar untuk melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Bagi teman-teman saya yang merasa cukup dengan jenjang S1 dan tempatnya bekerja tidak mensyaratkan, IPK menjadi hal yang tidak penting, apalagi yang kemudian berwiraswasta. Toh IPK juga tidak pernah ditanyakan pada saat reuni.
Jadi, bagaimana dengan lulusan sekarang yang punya IPK sundul langit? Ya tidak apa-apa, toh bisa jadi paling tidak kebanggaan orang tua apalagi jika pas wisuda memakai selempang bertuliskan Cum Laude.
Tinggalkan Balasan ke Ndik Batalkan balasan