Sebuah tulisan dari Mas Paman Tyo ini mengingatkan saya akan kisah burung air di Pantai Utara Jawa, di sekitar Indramayu – Cirebon, hasil penelitian teman saya. Yus Rusila Noor namanya, dan saat ini Yus menjabat sebagai direktur di Wetlands International Indonesia. Begini kisahnya.
Ini kisah lama, di akhir 80an, pada saat Yus, kakak angkatan saya, melakukan penelitian tentang perburuan burung air di sekitaran Indramayu untuk skripsinya.
Setelah musim panen padi, sawah yang gundul tak lantas jadi sunyi. Ada jaring nilon ratusan meter yang dibentangkan di sana untuk menangkap burung yang hidupnya di lahan basah (waterbirds). Jika pada musim migrasi tiba, burung-burung yang datang dari tempat yang jauh di belahan bumi Utara ini nasibnya bisa nahas terjaring. Tetapi jika bukan musim migrasi, burung-burung air lokal jadi sasaran.
Apa saja jenis yang ditangkap? Ada belibis (Dendrocygna spp.), beberapa jenis Ardeidae (Kuntul, Blekok, Cangak), Ayam-ayaman (Rallidae), dan mungkin juga Itik benjut (Anas gibberifrons). Itu jenis-jenis burung lokal. Untuk jenis burung bermigrasi ada Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis), Terik asia (Glareola maldivarum), Cerek besar (Pluvialis squatarola) dan Cerek kernyut (Pluvialis fulva). Berapa banyak yang ditangkap? Bisa belasan ribu ekor setiap bulannya pada saat musim puncak penangkapan.
Para penangkap burung ini kemudian menjual burung-burung tadi ke pengepul dalam keadaan hidup, untuk selanjutnya diproses sehingga siap untuk dimasak. Saya membayangkan jagal burung ini sibuk luar biasa menyembelih burung-burung tadi.
Burung ini kemudian dijual ke para penjual siap saji/santap. Dahulu produk jadinya diberi nama ayam goreng walaupun bukan ayam. Dijual di warung atau gerobak pinggir jalan atau diasong di stasiun kereta api. Pada masa itu, para pedagang makanan ini bisa masuk hingga ke peron stasiun bahkan ke dalam gerbong kereta.
Belakangan saya dengar, kegiatan menangkap burung air ini lantas menyebar ke Sumatera, dan hasil buruannya kemudian diolah setengah jadi dan dikirim ke Jawa dalam coolbox. Kenapa tidak dijual hidup? Selain burungnya bisa mati di perjalanan, ini juga bentuk hilirisasi.
Saat ini bagaimana situasinya? Apakah perburuannya masih berlangsung? Tampaknya masih berlangsung, tetapi saya tidak memiliki informasi lengkap soal ini. Mungkin ada baiknya ini dijadikan bahan penelitian mahasiswa S1, jika diizinkan oleh universitasnya. Ini karena penelitian begini minimal perlu waktu satu tahun di lapangan dan beberapa bulan untuk analisa dan menuliskan hasilnya dalam bentuk skripsi. Mencari mahasiswa sekarang yang mau berlama-lama untuk menghasilkan skripsi begini sungguh langka. Harus cepat lulus, entah kenapa harus cepat.
Tinggalkan Balasan ke Blogombal Batalkan balasan