
Sembari berjemur pagi dan menikmati kopi, saya membaca ePaper Kompas hari ini (Selasa, 5 Agustus 2025). Ada satu tulisan di halaman muka yang membuat saya langsung tertarik dan ada satu istilah baru yang saya dapatkan, tertawa karier.
Walau gurauannya tak lucu, pekerja tetap tertawa. Sebab, gurauan dilontarkan oleh atasan. Dikenal sebagai tertawa karier”.
Kabarnya tertawa karier ini dilakukan agar yang tertawa bisa disukai di tempat kerjanya, dan ini dapat menyebabkan stress (tekanan) terhadap yang pura-pura tertawa tadi. Tekanan ini dirasakan lebih banyak oleh perempuan.
Studi yang dilakukan Kean di Inggris, ”Shapeshifters: What We Do to Be Liked at Work”, terbit Mei 2025, menunjukkan, 56 persen perempuan merasakan tekanan untuk disukai di tempat kerja. Sementara laki-laki hanya 36 persen.
Bagi saya, tertawa karier bukanlah hal baru. Tidak hanya terjadi dalam hubungan atasan bawahan tetapi juga dalam hubungan senioritas di tempat kerja. Alasan yang kerap dipakai adalah, karyawan itu harus menghormati atasannya atau junior itu harus menghormati seniornya. Tetapi jarang sekali saya mendengar hal yang sebaliknya di mana atasan juga harus menghormati bawahannya serta senior harus menghormati juniornya.
Saya sendiri penganut aliran saling menghormati dan saling menghargai. Sebagai atasan, harus punya empati dan mau mendengar apa kata bawahan. Sebagai yang umurnya lebih banyak juga jangan petantang peténténg banyak lagak ke yang lebih muda.
Saya pernah mendengar seorang atasan yang juga lebih tua berkata ke salah seorang staf, “aaah goblok banget sih elu, gini aja gak ngerti!” Padahal atasan itu ya belum tentu mengerti juga apa dan bagaimananya. Kalau ada yang bertanya, ya jawab saja pertanyaannya secara baik-baik. Kalau belum tahu jawabannya, akui saja dengan mengatakan “sebentar ya, saya cari tahu dulu jawabannya”. Apa karena faktor gengsi hal itu tidak dilakukan?
Kembali ke soal tertawa karier, saya penganut tidak akan tertawa jika gurauan yang dilontarkan okeh siapapun tidak lucu atau garing apa lagi gurauan yang sexist. Berdasarkan pengalaman saya, gurauan sexist begini sering kali dilontarkan oleh laki-laki.
Sayangnya tulisan itu tidak menyebutkan bagaimana kondisi di Indonesia, karena contoh kasus yang dipakai adalah dari Kenya dan studi yang dilakukan di Inggris.
Tinggalkan komentar