Pajak Yang Hilang

Penyelenggara negara ini gencar sekali memajaki berbagai hal untuk membiayai keperluan negara yang katanya banyak sekali itu. Banyak yang jengkel tapi tidak bisa berbuat apa-apa, sambil ngomel “sebentar lagi kentut juga harus bayar pajak”. Semoga tidak.

Tetapi bicara soal pungutan pajak, ada juga pungutan yang hilang dan saya mengalami kepunahannya secara perlahan. Saya tidak tahu apa ada aturan yang membuat pungutan tersebut tak lagi dipungut.

Saya ingat Bapak bercerita kalau dulu kereta angin harus bayar pajak sepeda dan sepeda yang sudah bayar lantas diberi pelat logam yang dipasang pada sepeda yang dikenal dengan nama peneng atau plombir. Saya tidak tahu berapa besar pajaknya dan kapan peneng itu lantas hilang begitu saja, mungkin pada saat saya SD.

Pungutan lain yang juga sudah hilang adalah iuran televisi, yang besarnya tergantung dari apakah perangkat televisinya berwarna atau hitam putih dan berapa inci ukuran layarnya. Pungutan ini tampaknya hilang pada tahun 2000. Saya masih mengalami membayar iuran ini di kantor pos. Saya juga ingat pada saat saya tinggal di Inggris awal tahun 2000an saya harus bayar £100 per tahun per perangkat.

Soal iuran televisi ini ada guyonan garing nan lawas soal seorang ibu hamil yang hendak membayar iuran televisinya di kantor pos. Petugas bertanya, berapa bulan Bu? Si Ibu sambil mengelus perutnya berkata 7 bulan Pak. Petugas lantas menukas, jadi semua Rp.10.500 Bu.

Komentar

Satu tanggapan untuk “Pajak Yang Hilang”

  1. Blogombal Avatar

    Betul soal pening atawa plombir itu. Mulanya berupa logam, lalu diganti stiker celup dan akhirnya stiker tinggal tempel. Saya pernah menulis dan menampilkan gambarnya, dulu banget.

    Dokar/delman dan andong serta becak, dulu juga wajib punya plombir. Itu termasuk penerimaan negara bukan pajak.

    Iuran radio dan TV sempat hiatus, lalu awal 1990-an Tommy Soeharto melalui Mekatama Raya menjadi kolektor, dengan bagi hasil. Ibaratnya negara mematok target Rp1 miliar, tapi Tommy bisa menarik Rp2 miliar, maka kelebihan buat dia. Saya pernah menolak bayar kepada kolektor. Dia balik lagi bawa tentara. Saya tetap ogah bayar.

    Cara serupa ditempuh Ari Sigit dengan pemprov, misalnya Bali. Ari memungut pajak alkohol, padahal pemerintah sudah memungut cukai miras. Pemprov mematok target, Ari jual stiker untuk botol miras.

    Melalui BPPC, Tommy bermain tata niaga cengkih. Salah satu hasilnya adalah kemasan rokok kretek berubah, hanya boleh isi 10, 12, dan 16, mulai 1991.

    Suka

Tinggalkan komentar